Selasa, 31 Maret 2015

TEORI SOSIOLOGI SASTRA MARXIS

Karl Marx berpandangan bahwa sastra sebagai bagian dari sebuah institusi sosial yang penting dimana memiliki kesamaan dengan agama, politik, ilmu pengetahuan, dan pendidikan yang menjadi bagian integral kehidupan sosial sehingga sastra berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi perkembangan sosial ekonomi masyarakat.Sastra telah menjadi bagian penting dari suatu sistem produksi sosial suatu masyarakat, karena itu sastra telah menjadi bagian struktur relasi sosial yang perkembangannya bersifat dinamik.Sastra selalu terlibat dalam perubahan-perubahan sosial dan konflik-konflik sosial.Marx juga menegaskan besarnya pengaruh sastra terhadap dinamika sosial (Anwar, 2010:42).
Marx (dalam Kurniawan, 2012: 40) mengembangkan teori sosial sastranya dengan menyatakan bahwa kegiatan manusia yang paling penting adalah kegiatan ekonomi (produksi unsur-unsur materi). Hal ini menunjukkan kerangka kerja sosiogi yang bersifat material, yaitu ekonomi menjadi faktor determinasi kehidupan manusia dengan struktur sosial masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang melakukan aktivitas ekonomi atau produksi dari suatu masyarakat.Kerja adalah wujud dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan konkretisasi aktivitas ekonomi. Dalam pandangan Marx, kerja itu merupakan sifat dasar manusia karena aktivitas kerja yang dilakukan membedakannya dengan makhluk hidup lain. Kerja bagi manusia akan mewujudkan suatu hal dalam realitas yang sebelumnya ada dalam imajinasi. Perwujudan imajinasi menjadi realitas disebut dengan objektivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat George Ritzer & Douglas J. Goodman (2011:53) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerja, yaitu:
1.      Objektivasi tujuan manusia
2.      Pembentukan suatu relasi yang esensial antara kebutuhan manusia dengan objek-objek material kebutuhan manusia
3.      Transformasi sifat dasar manusia
 Marx tidak membatasi kerja pada hal yang berhubungan dengan  aktivitas ekonomi saja, tetapi memiliki pengertian yang luas. Menurutnya, kerja itu mencakup tindakan-tindakan produktif manusia dalam mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan manusia itu sendiri. Aktivitas ekonomi-material-produksi merupakan dasar dari kehidupan manusia dan  kehidupan ini menjadikan manusia memproduksi pikiran dan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi menjadi faktor determinasi produksi pikiran dan kesadaran manusia.
Marx meyakini bahwa situasi dan kondisi sosial manusia sangat dipengaruhi oleh aspek material-produksi berdasarkan penjelasan di atas.Hal tersebut membuat Marx membagi masyarakat dalam dua struktur: infrastruktur (basis ekonomi) dan superstruktur (produk pikiran dan perasaan). Infrastruktur merupakan struktur yang menjadi arsitek (determinasi) yang merancang dan menentukan kehidupan manusia, terutama pikiran dan perasaannya. Sedangkan superstruktur merupakan kategori sisa atau hasil yang diciptakan oleh infrastruktur yang terdiri dari lembaga-lembaga sosial dan ideologi yang berkembang di masyarakat (Abercombie, 2011: 38).
Faruk (2010: 7) menyatakan bahwa hubungan antara infrastruktur dan superstruktur bersifat determinasi dimana aktivitas-aktivitas produksi (infrastruktur) akan selalu membawa perubahan pada superstrukturnya, sehingga struktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya struktur lembaganya, moralitasnya, agamanya, termasuk juga kesusastraaan keberadaannya ditentukan oleh kondisi-kondisi produksi kehidupan masyarakatnya.
Dengan sistem produksi (infrastruktur) yang terus bergerak dinamis dan terus mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, maka sistem produksi tidak hanya mempengaruhi perubahan hubungan sosial, tetapi juga mempengaruhi perubahan dinamika kesadaran masyarakat, ide-ide, dan konsep-konsep intelektualitasnya (Anwar, 2010: 26).
Marx mengidentifikasi struktur sosial masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah yang faktor utamanya didasarkan pada penguasaan alat-alat produksi pada zamannya.Kelas atas adalah kelas yang memiliki sarana produksi, sedangkan kelas bawah adalah mereka (kelas) yang tidak memiliki alat-alat produksi. Relasi kelas ini menciptakan kelas dominan dengan subordinat, majikan dengan budak, tuan tanah dengan pelayan, dan borjuis dengan proletar. Relasi hubungan ini didasarkan pada faktor determinasi ekonomi. (Kurniwan, 2012: 42).
Di Indonesia, meskipun menolak sistem kelas namun pada kenyataannya sering ada pertentangan antara elit dan golongan bawah. Jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daerah,wong gedhe-wong cilik, elit-rakyat kecil dan seterusnya. Kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan di Indonesia.Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu juga sering menarik perhatian pengarang.Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan “jarak” perbedaan strata sosial dan kekuasaan (Endraswara, 2004:82).
Abercrombie (2011: 332) menjelaskan bahwa menurut Marx sejarah manusia adalah rangkaian kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antarkelas sosial berdasarkan struktur sosial masyarakat pada dua kelas sosial yang ditentukan oleh determinasi ekonomi. “Motor sejarah” adalah sebutan Marx bagi perjuangan kelas karena dua kelas sosial yang berbeda dalam sejarahnya akan selalu terlibat konflik atau kontradiksi karena perbedaan kelas ekonomi.
Konsep lain yang berhubungan dengan sosiologi sastra Marxis adalah ideologi.  Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran, keyakinan, ide, dan gagasan yang dipercaya masyarakat yang menjadikan kontradiksi kelas tidak tampak atau sebaliknya, kontradiksi antarkelas itu tampak nyata.
Marx (dalam Jones, 2009: 87) mengidentifikasi dua bentuk ideologi.Ideologi yang pertama adalah ideologi kesadaran kelas.Ideologi tersebut merupakan ideologi yang dimiliki suatu kelas sosial, misalnya kelas subordinat dalam memandang realitas sebagai sesuatu yang semu atau salah sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya tentang eksistensinya sebagai suatu kelas.Ideologi yang kedua adalah ideologi kesadaran semu. Ideologi ini merupakan kesadaran yang tidak akan muncul bebas dari kondisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa ideologi sebagai suatu kesadaran kelas akan dibenturkan dengan keadaan ekonomi yang ada. Misalnya, kelas subordinat memiliki kesadaran tentang eksploitasi yang mereka rasakan karena keberadaan kelas dominan. Meskipun mereka sadar tetapi mereka hanya bisa pasrah dan menerima karena kelas dominan tentu lebih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi daripada kelas subordinat. Sehingga ideologi  kesadaran yang dimiliki kelas subordinat hanya sebatas wacana dan tidak sampai pada gerakan perlawanan.
Kedua ideologi inilah yang menjadikan kelas subordinat memahami kedudukannya sebagai kelas yang tereksploitasi, sehingga mereka pun memulai perjuangan politik yang dirancang untuk menggantikan tatanan sosial yang lama dengan yang baru, yang lebih sesuai dengan tatanan ekonomi yang baru (Jones, 2009: 92).
Terdapat 6 definisi ideologi menurut Eagleton (dalam Sparringa,1997:10). Pertama, ideologi adalah proses material yang berhubungan dengan produksi ide-ide, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Kedua, ideologi adalah ide atau kepercayaan yang melambangkan keadaan dan pengalaman hidup dalam suatu kelompok sosial atau suatu kelas tertentu.Ketiga, ideologi dipandang sebagai arena diskursus, tempat berbagai kekuatan sosial bertarung.Keempat, makna ideologi yang menitikberatkan promosi dan legitimasi kepentingan sektoral, tapi dibatasi kekuatan sosial yang dominan.Kelima, ideologi melambangkan ide-ide atau gagasan-gagasan dan kepercayaan-kepercayaan yang membantu mengabsahkan kepentingan  dari sebuah kelompok atau kelas oleh distorsi dan disimulasi. Dan yang terakhir yaitu keenam, ideologi menitikberatkan suatu kepercayaan, yang salah maupun palsu yang berasal dari struktur material masyarakat keseluruhan tanpa melihat kepercayaan tersebut berkembang dari kelas yang dominan.
Definisi pertama dan kedua dari penjelasan di atas dapat digunakan untuk membantu mengupas ideologi pengarang dalam karya sastra. Hal ini terjadi karena dalam penciptaan karya sastra, pengarang tentu mengungkapkan pemikirannya yang dapat ditangkap oleh pembaca.
Teori lain yang berkaitan dengan pemahaman tentang ideologi diungkapkan oleh Althusser (dalam Barker, 2004:59) yang  mengungkapkan pandangannya bahwa  ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Terkait dengan pemikiran tersebut, Althusser juga mengungkapkan bahwa ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu (sebuah kenyataan).
Selain itu, Althusser memiliki pandangan bahwa ideologi tidak hanya memiliki eksistensi spiritual dan eksistensi material.Eksistensi spiritual yang dimaksud adalah hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Sedangkan yang dimaksud dengan eksistensi material adalah kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal-hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut, misalnya jika kita menemui ketidakadilan dalam hukum atau bidang lainnya, kita dapat menyatakan protes bahkan bisa mewujudkannya dengan berdemonstrasi (Sumber:http:ressay.wordpress.com/2008/08/14/sekilas-tentang-louis-althusser )
Pandangan-pandangan tersebut juga dapat dijadikan pijakan untuk mengungkap ideologi pengarang.Dalam menciptakan karyanya, pengarang tentu memiliki pandangan atau pemikiran dengan berdasarkan pengalaman hidupnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar