Karl Marx berpandangan bahwa sastra sebagai bagian dari
sebuah institusi sosial yang penting dimana memiliki kesamaan dengan agama,
politik, ilmu pengetahuan, dan pendidikan yang menjadi bagian integral
kehidupan sosial sehingga sastra berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi
perkembangan sosial ekonomi masyarakat.Sastra telah menjadi bagian penting dari
suatu sistem produksi sosial suatu masyarakat, karena itu sastra telah menjadi
bagian struktur relasi sosial yang perkembangannya bersifat dinamik.Sastra selalu
terlibat dalam perubahan-perubahan sosial dan konflik-konflik sosial.Marx juga
menegaskan besarnya pengaruh sastra terhadap dinamika sosial (Anwar, 2010:42).
Marx (dalam Kurniawan, 2012: 40) mengembangkan teori
sosial sastranya dengan menyatakan bahwa kegiatan manusia yang paling penting
adalah kegiatan ekonomi (produksi unsur-unsur materi). Hal ini menunjukkan
kerangka kerja sosiogi yang bersifat material, yaitu ekonomi menjadi faktor
determinasi kehidupan manusia dengan struktur sosial masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang melakukan aktivitas
ekonomi atau produksi dari suatu masyarakat.Kerja adalah wujud dari usaha
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan konkretisasi aktivitas
ekonomi. Dalam pandangan Marx, kerja itu merupakan sifat dasar manusia karena
aktivitas kerja yang dilakukan membedakannya dengan makhluk hidup lain. Kerja
bagi manusia akan mewujudkan suatu hal dalam realitas yang sebelumnya ada dalam
imajinasi. Perwujudan imajinasi menjadi realitas disebut dengan objektivasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat George Ritzer & Douglas J. Goodman (2011:53)
yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerja, yaitu:
1. Objektivasi tujuan manusia
2. Pembentukan suatu relasi yang esensial antara
kebutuhan manusia dengan objek-objek material kebutuhan manusia
3. Transformasi sifat dasar manusia
Marx tidak
membatasi kerja pada hal yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi saja, tetapi memiliki
pengertian yang luas. Menurutnya, kerja itu mencakup tindakan-tindakan produktif
manusia dalam mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan manusia itu
sendiri. Aktivitas ekonomi-material-produksi merupakan dasar dari kehidupan
manusia dan kehidupan ini menjadikan
manusia memproduksi pikiran dan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi
menjadi faktor determinasi produksi pikiran dan kesadaran manusia.
Marx meyakini bahwa situasi dan kondisi sosial manusia
sangat dipengaruhi oleh aspek material-produksi berdasarkan penjelasan di
atas.Hal tersebut membuat Marx membagi masyarakat dalam dua struktur:
infrastruktur (basis ekonomi) dan superstruktur (produk pikiran dan perasaan).
Infrastruktur merupakan struktur yang menjadi arsitek (determinasi) yang
merancang dan menentukan kehidupan manusia, terutama pikiran dan perasaannya.
Sedangkan superstruktur merupakan kategori sisa atau hasil yang diciptakan oleh
infrastruktur yang terdiri dari lembaga-lembaga sosial dan ideologi yang
berkembang di masyarakat (Abercombie, 2011: 38).
Faruk (2010: 7) menyatakan bahwa hubungan antara
infrastruktur dan superstruktur bersifat determinasi dimana aktivitas-aktivitas
produksi (infrastruktur) akan selalu membawa perubahan pada superstrukturnya,
sehingga struktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya struktur lembaganya,
moralitasnya, agamanya, termasuk juga kesusastraaan keberadaannya ditentukan
oleh kondisi-kondisi produksi kehidupan masyarakatnya.
Dengan sistem produksi (infrastruktur) yang terus
bergerak dinamis dan terus mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, maka sistem
produksi tidak hanya mempengaruhi perubahan hubungan sosial, tetapi juga
mempengaruhi perubahan dinamika kesadaran masyarakat, ide-ide, dan
konsep-konsep intelektualitasnya (Anwar, 2010: 26).
Marx mengidentifikasi struktur sosial masyarakat menjadi
dua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah yang faktor utamanya didasarkan
pada penguasaan alat-alat produksi pada zamannya.Kelas atas adalah kelas yang
memiliki sarana produksi, sedangkan kelas bawah adalah mereka (kelas) yang
tidak memiliki alat-alat produksi. Relasi kelas ini menciptakan kelas dominan
dengan subordinat, majikan dengan budak, tuan tanah dengan pelayan, dan borjuis
dengan proletar. Relasi hubungan ini didasarkan pada faktor determinasi
ekonomi. (Kurniwan, 2012: 42).
Di Indonesia, meskipun menolak sistem kelas namun pada
kenyataannya sering ada pertentangan antara elit dan golongan bawah. Jika orang
lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daerah,wong
gedhe-wong cilik, elit-rakyat kecil dan seterusnya. Kehadiran kelas atau lebih
tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan di
Indonesia.Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu juga
sering menarik perhatian pengarang.Itulah sebabnya, karya sastra dapat
dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan
menggambarkan “jarak” perbedaan strata sosial dan kekuasaan (Endraswara,
2004:82).
Abercrombie (2011: 332) menjelaskan bahwa menurut Marx
sejarah manusia adalah rangkaian kontradiksi-kontradiksi yang terjadi
antarkelas sosial berdasarkan struktur sosial masyarakat pada dua kelas sosial
yang ditentukan oleh determinasi ekonomi. “Motor sejarah” adalah sebutan Marx
bagi perjuangan kelas karena dua kelas sosial yang berbeda dalam sejarahnya
akan selalu terlibat konflik atau kontradiksi karena perbedaan kelas ekonomi.
Konsep lain yang berhubungan dengan sosiologi sastra
Marxis adalah ideologi. Menurut Marx,
ideologi adalah kesadaran, keyakinan, ide, dan gagasan yang dipercaya
masyarakat yang menjadikan kontradiksi kelas tidak tampak atau sebaliknya,
kontradiksi antarkelas itu tampak nyata.
Marx (dalam Jones, 2009: 87) mengidentifikasi dua bentuk
ideologi.Ideologi yang pertama adalah ideologi kesadaran kelas.Ideologi
tersebut merupakan ideologi yang dimiliki suatu kelas sosial, misalnya kelas
subordinat dalam memandang realitas sebagai sesuatu yang semu atau salah
sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya tentang eksistensinya sebagai suatu
kelas.Ideologi yang kedua adalah ideologi kesadaran semu. Ideologi ini
merupakan kesadaran yang tidak akan muncul bebas dari kondisi ekonomi. Hal ini
berarti bahwa ideologi sebagai suatu kesadaran kelas akan dibenturkan dengan
keadaan ekonomi yang ada. Misalnya, kelas subordinat memiliki kesadaran tentang
eksploitasi yang mereka rasakan karena keberadaan kelas dominan. Meskipun
mereka sadar tetapi mereka hanya bisa pasrah dan menerima karena kelas dominan
tentu lebih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi daripada kelas subordinat.
Sehingga ideologi kesadaran yang dimiliki
kelas subordinat hanya sebatas wacana dan tidak sampai pada gerakan perlawanan.
Kedua ideologi inilah yang menjadikan kelas subordinat
memahami kedudukannya sebagai kelas yang tereksploitasi, sehingga mereka pun
memulai perjuangan politik yang dirancang untuk menggantikan tatanan sosial yang
lama dengan yang baru, yang lebih sesuai dengan tatanan ekonomi yang baru
(Jones, 2009: 92).
Terdapat 6 definisi ideologi menurut Eagleton (dalam
Sparringa,1997:10). Pertama, ideologi adalah proses material yang berhubungan
dengan produksi ide-ide, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Kedua,
ideologi adalah ide atau kepercayaan yang melambangkan keadaan dan pengalaman
hidup dalam suatu kelompok sosial atau suatu kelas tertentu.Ketiga, ideologi
dipandang sebagai arena diskursus, tempat berbagai kekuatan sosial bertarung.Keempat,
makna ideologi yang menitikberatkan promosi dan legitimasi kepentingan
sektoral, tapi dibatasi kekuatan sosial yang dominan.Kelima, ideologi
melambangkan ide-ide atau gagasan-gagasan dan kepercayaan-kepercayaan yang
membantu mengabsahkan kepentingan dari
sebuah kelompok atau kelas oleh distorsi dan disimulasi. Dan yang terakhir
yaitu keenam, ideologi menitikberatkan suatu kepercayaan, yang salah maupun
palsu yang berasal dari struktur material masyarakat keseluruhan tanpa melihat
kepercayaan tersebut berkembang dari kelas yang dominan.
Definisi pertama dan kedua dari penjelasan di atas dapat
digunakan untuk membantu mengupas ideologi pengarang dalam karya sastra. Hal
ini terjadi karena dalam penciptaan karya sastra, pengarang tentu mengungkapkan
pemikirannya yang dapat ditangkap oleh pembaca.
Teori lain yang berkaitan dengan pemahaman tentang
ideologi diungkapkan oleh Althusser (dalam Barker, 2004:59) yang mengungkapkan pandangannya bahwa ideologi terlibat dalam reproduksi
formasi-formasi sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Terkait dengan
pemikiran tersebut, Althusser juga mengungkapkan bahwa ideologi sebagai
pengalaman yang dijalani tidaklah palsu (sebuah kenyataan).
Selain itu, Althusser memiliki pandangan bahwa ideologi
tidak hanya memiliki eksistensi spiritual dan eksistensi material.Eksistensi
spiritual yang dimaksud adalah hubungan imajiner antara individu dengan kondisi
eksistensi nyatanya. Sedangkan yang dimaksud dengan eksistensi material adalah
kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal-hal tertentu akan
diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh
orang tersebut, misalnya jika kita menemui ketidakadilan dalam hukum atau
bidang lainnya, kita dapat menyatakan protes bahkan bisa mewujudkannya dengan
berdemonstrasi (Sumber:http:ressay.wordpress.com/2008/08/14/sekilas-tentang-louis-althusser )
Pandangan-pandangan tersebut juga dapat dijadikan pijakan
untuk mengungkap ideologi pengarang.Dalam menciptakan karyanya, pengarang tentu
memiliki pandangan atau pemikiran dengan berdasarkan pengalaman hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar