Pengertian Kepemimpinan
Berikut
ini adalah beberapa pendapat mengenai pengertian kepemimpinan. Keating (1986:9) menyatakan bahwa,
kepemimpinan merupakan suatu proses yang dilakukan dengan berbagai cara untuk
mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Hersey
et al. (1992:9) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi
seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Sedangkan Thoha (1996:229) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan mempengaruhi perilaku manusia,
baik secara perorangan maupun kelompok ke arah pencapaian tujuan.
Beberapa
pendapat mengenai pengertian kepemimpinan yang dikutip Yukl di dalam terjemahan
Udaya (1994:2) adalah sebagai berikut:
1.
Kepemimpinan
adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu
kelompok ke arah tujuan yang hendak dicapai bersama (Hemhill and Coons, 1957).
2.
Kepemimpinan
adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam situasi tertentu, yang
diarahkan melalui proses komunikasi ke arah satu atau beberapa tujuan tertentu.
(Tannenbaum et all , 1996).
3.
Kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas kelompok yang diorganisasikan ke
arah pencapaian tujuan (Rauch and Behling,1984)
4.
Kepemimpinan
adalah suatu proses memberi pengaruh secara kolektif sehingga mengakibatkan
kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan dalam mencapai sasaran (Jacobs
and Jacques, 1990).
Dari berbagai
penjelasan mengenai pengertian kepemimpinan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa unsur-unsur utama dari
kepemimpinan adalah sebagai berikut :
1.
Pemimpin
atau orang yang mempengaruhi
2.
Orang
yang dipimpin sebagai pihak yang dipengaruhi
3.
Interaksi
atau kegiatan dan proses mempengaruhi
4.
Tujuan
yang hendak dicapai dalam proses mempengaruhi
5.
Perilaku
atau kegiatan yang dilakukan sebagai hasil mempengaruhi
Pengertian kepemimpinan
dengan unsur-unsurnya di atas selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
merupakan suatu proses mempengaruhi dan mengarahkan perilaku orang lain, baik
individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.
Gaya Kepemimpinan
Dharma (1984:3)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah perilaku yang ditunjukkan oleh
seseorang (pemimpin) pada
saat ia mempengaruhi
orang lain. Pendapat senada
dikemukakan oleh Thoha (1996:265) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang (pemimpin) pada saat
orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.
Sementara itu Hersey et ai, (1992:176) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai
pola perilaku yang dilakukan oleh pemimpin pada saat berupaya mempengaruhi
aktivitas orang lain (bawahan) seperti yang dilihat orang lain. Dalam hal ini perlu adanya keselarasan
persepsi antara orang yang akan mempengaruhi dengan orang yang akan dipengaruhi
perilakunya.
Pengertian di atas
menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan seseorang (pemimpin) merupakan hasil
persepsi orang lain yang melihat terhadap perilaku pemimpin tersebut dalam
upaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Orang lain yang melihat itu bisa
atasan si pemimpin, teman sejawat, atau bawahannya. Oleh karena itulah, untuk
mengetahui dan mengukur gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat digunakan
persepsi dari orang (pemimpin) itu sendiri, atau dari orang lain seperti
atasannya, bawahannya, dan atau teman sejawatnya.
Model Kepemimpinan Situasional
(Kontingensi) dari Fiedler
Fiedler di dalam
Kreitner dan Kinicki (1989:459) mengatakan bahwa terdapat tiga dimensi di dalam
situasi yang dihadapi pemimpin, ketiga dimensi itu adalah:
a.
Hubungan pemimpin-anggota (the
leader-member relationship)
Dimensi ini merupakan
variabel yang sangat penting/kritis dalam menentukan situasi yang menguntungkan
b.
Derajat dari susunan tugas (the
degree of task structure)
Dimensi ini merupakan
variabel yang sangat penting/kritis kedua dalam menentukan situasi yang
menguntungkan
c.
Posisi kekuasaan pemimpin (the
leader's position power).
Dimensi ini yang diperoleh
melalui kewenangan formal merupakan variabel yang sangat penting/kritis ketiga
dalam menentukan situasi yang menguntungkan.
Situasi
yang menguntungkan dalam menjalankan kepemimpinan adalah hubungan baik antara
pimpinan dengan anggota organisasi sebagai bawahan artinya pemimpin diterima
oleh orang-orang yang dipimpinnya atau sebaliknya. Dalam hubungan yang serasi
antara kedua belah pihak, terbina suasana persahabatan, tidak ada perselisihan,
setiap perbedaan pendapat dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh kedua
belah pihak. Di samping tugas-tugas yang harus dikerjakan anggota
organisasi/bawahan tersusun secara jelas sehingga setiap orang mengetahui
rincian tugasnya dan wewenang serta tanggung jawabnya dalam melaksanakan
tugas-tugas tersebut. Dalam
situasi ini kedudukan atau posisi kekuasaan formal pemimpin menjadi tugas dan
kuat. Sehingga mempermudah usahanya dalam mempengaruhi pikiran, perasaan,sikap
dan perilaku anggota organisasi/bawahannya.
Model Kepemimpinan Situasional Tiga
Dimensi dari Reddin
Menurut Thoha (1996:272),
model 3 dimensi Reddin ini mengidentifikasi empat gaya dasar kepemimpinan yang
pada hakekatnya sama dengan gaya kepemimpinan yang ditemukan oleh para ahli di
Universitas Ohio, yang juga digunakan untuk mengembangkan gaya kepemimpinan
managerial grid. Keempat gaya kepemimpinan tersebut ialah : (1) rendah tugas
dan rendah hubungan (terpisah); (2) rendah tugas dan tinggi hubungan
(berhubungan); (3) tinggi tugas dan rendah hubungan (pengabdian); serta (4)
tinggi tugas dan tinggi hubungan (terpadu). Dari empat gaya dasar tersebut,
model 3-dimensi Reddin mengembangkan empat gaya yang efektif dan empat gaya
yang tidak efektif seperti dijelaskan oleh Thoha (1996:272).
Empat gaya kepemimpinan yang efektif adalah :
1.
Executive
(Eksekutif)
Gaya ini banyak memberikan
perhatian pada tugas dan hubungan kerja. Manajer bertindak sebagai motivator
yang baik, mau menetapkan standar kerja yang tinggi, mau mengenal perbedaan
antara individu karyawan, dan bersedia menggunakan sistem kerja tim.
2.
Developer (Pengembang)
Gaya ini memberikan
perhatian yang maksimum pada hubungan kerja, dan perhatian minimum pada tugas.
Manajer memiliki kepercayaan yang implisit terhadap orang-orang yang bekerja
dalam organisasinya, dan sangat memperhatikan pengembangan mereka sebagai
individu.
3.
Benevolent
Autocrat (Otokrat Bijak) .
Gaya ini memberikan
perhatian yang maksimum pada tugas, dan perhatian yang minimum pada hubungan
kerja. Manajer mengetahui secara tepat apa yang diinginkan dan bagaimana
memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan ketidakseganan dipihak
lain.
4.
Bureaucrat (Birokrat)
Gaya ini membebankan
perhatian yang minimum, baik pada tugas maupun pada hubungan kerja. Manajer
sangat tertarik pada peraturan-peraturan dan bersedia memeliharanya, serta
melakukan kontrol situasi secara teliti.
Sedangkan empat gaya yang tidak efektif adalah :
1.
Compromise (Kompromis)
Gaya ini memberikan
perhatian yang besar pada tugas dan hubungan kerja dalam situasi yang
menekankan pada kompromi. Manajer merupakan pembuat keputusan yang jelek, dan
banyak tekanan yang mempengaruhinya.
2.
Missionary (Penganjur)
Gaya ini membenkan perhatian
yang maksimal pada hubungan kerja dan perhatian minimum pada tugas, dengan
perilaku yang tidak scsuai. Manajer menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan
dalam dirinya sendiri.
3.
Autocrat (Otokrat)
Gaya ini membenkan perhatian
yang maksimum pada tugas dan perhatian yang minimum pada hubungan kerja, dengan
perilaku yang tidak sesuai. Manajer tidak mempunyai kepercayaan pada orang
lain, tidak menyenangkan, dan hanya tertarik pada pekerjaan yang segera cepat
selesai.
4.
Deserter (Pelari)
Gaya ini sama sekali tidak
membenkan perhatian pada tugas maupun hubungan kerja. Manajer ini dalam situasi
tertentu tidak terpuji, karena cenderung pasif, tidak mau ikut campur tangan
secara aktif dan positif.
Model 3-dimensi Reddin
tersebut dapat dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efeklif menurut
Reddin adalah eksekutif yang merupakan kombinasi gaya yang berorientasi pada
tugas (task oriented) yang tinggi dengan gaya yang berorientasi pada
hubungan kerja (employee oriented ) yang tinggi pula. Dengan kata lain,
gaya kepemimpinan yang paling efektif adalah kombinasi gaya kepemimpinan consideration
yang tinggi dengan initiating structure yang tinggi pula. Sementara
itu, gaya kepemimpinan yang tidak efektif adalah gaya kepemimpinan deserter yang
merupakan kombinasi dari gaya consideration yang rendah dengan gaya initiating
structure yang rendah pula.
Model Kepemimpinan Situasional dari
Tannenbaum dan Schmidt
Tannenbaum dan Schmidt adalah diantara para teoritis yang menguraikan berbagai faktor
yang mempengaruhi pilihan
gaya kepemimpinan oleh
manajer, Tannenbaum (1973:162) mengemukakan bahwa manajer harus
mempertimbangkan tiga kumpulan ”kekuatan” sebelum melakukan pemilihan gaya
kepemimpinan, yaitu:
Kekuatan-kekuatan dalam diri
manajer meliputi 1) Sistem nilai, 2) Kepercayaan terhadap bawahan, 3)
Kecenderungan kepemimpinannya sendiri, dan 4) perasaan aman dan tidak aman.
Kekuatan-kekuatan dalam diri para bawahan, meliputi 1) kebutuhan mereka akan
kebebasan, 2) kebutuhan mereka akan peningkatan tanggung jawab, 3) apakah
mereka tertarik dalam dan mempunyai keahlian untuk penanganan masalah, dan 4)
harapan mereka mengenai keterlibatan dalam pembuatan keputusan.
Kekuatan-kekuatan dari situasi, mencakup 1) tipe
organisasi, 2) efektifitas kelompok, 3) desakan waktu, dan 4) sifat masalah itu
sendiri.
Konsep Tannenbaum dan
Schmidt ini disajikan sebagai suatu rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership
continum). Pendekatan yang paling efektif sebagai manajer, menurut mereka adalah
sedapat mungkin fleksibel, maupun memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan
dalam waktu dan tempat tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar