Senin, 23 Maret 2015

HUMAN DIGNITY IN CLINICAL DECISION

HUMAN DIGNITY IN CLINICAL DECISION

          Martabat manusia mencakup banyak aspek yang saling terkait yaitu rasa hormat, privasi, otonomi dan harga diri. Dalam mengambil keputusan klinis, martabat manusia sangat penting karena terkait dengan masalah etik. Ada beberapa masalah yang bisa menimbulkan dilema etik antara lain:
1.      Definisi hidup dan mati
2.      Keterbatasan pengobatan
3.      Kelainan congenital berat
4.      Kelainan congenital berat yang terdeteksi saat dalam kandungan
5.      Resusitasi jantung paru otak
6.      Dan akhirnya apa yang terjadi setelah kita mengupayakan yang terbaik1
Kasus yang akan dibahas berikut ini adalah kasus yang terkait dengan peran dokter spesialis Mikrobiologi Klinik dalam mengatasi suatu keadaan KLB akibat kuman penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase).

Kasus:  Kejadian Luar Biasa kuman penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamases) di Suatu Rumah Sakit akibat pemakaian antibiotik golongan Sefalosporin generasi III yang tidak terkontrol baik penulisan resep,  cara  pemberian,  dosis,  frekuensi,  dan  indikasi  yang tepat.

PEMBAHASAN MASALAH KLB KUMAN PENGHASIL ESBL
Infeksi yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL dapat dibagi lagi menurut berbagai organ/sistem sebagai berikut:
1. Infeksi Saluran Kemih
2. Bakteremia primer dan sekunder
3. Infeksi saluran napas bawah nosokomial- ventilator associated pneumonia
4. Infeksi saluran cerna- abses intra abdominal- peritonitischolangitis
5. Infeksi pada kulit dan jaringan lunak
6. Infeksi luka infus- pemasangan kateter intra vena sentral dan perifer
7. Sinusitis
8. Neurosurgical meningitis- related to ventricular drainage catheters

Infeksi yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL menunjukkan dilema therapeutic yang besar karena pilihan antibiotik yang terbatas.  Hal ini disebabkan karena enzim betalaktamase yang dihasilkan kuman mempunyai spektrum lebar, kuman penghasil ESBL  bersifat resisten terhadap semua golongan beta-laktam termasuk sefalosporin spektrum lebar, aztreonam, penisilin spektrum lebar, dan sering dihubungkan dengan masalah resisten terhadap fluoroquinolone. Selanjutnya antibiotik seperti trimethoprimsulfamethoxazole dan aminoglikosida terutama gentamisin sering  menyebarkan sifat  resisten melalui  plasmid resisten yang sama, sehingga menyebabkan multi-resisten. Infeksi kuman penghasil ESBL merupakan infeksi yang diperoleh penderita selama dirawat dirumah sakit dan termasuk infeksi saluran kemih, peritonitis, cholangitis, abses intra abdominal, ventilator-associated pneumonia, dan central-line associated bacteraemia.
Meskipun kuman-kuman tersebut bisa menyebabkan infeksi nosokomial, juga sangat penting untuk dibedakan antara kolonisasi dan penyebab infeksi yang signifikan sebelum memutuskan pilihan terapi antibiotik yang akan digunakan, sebab kuman penghasil ESBL cenderung untuk kolonisasi di saluran napas atas dan kulit penderita dengan  sakit yang serius dan kritis.  Rekomendasi  untuk terapi antibiotik secara optimal berdasarkan efektivitasnya, case series, dan studi observasional secara prospektif. Salah satu problematik utama  dengan sefalosporin dan kuman penghasil  ESBL adalah deteksi sifat resisten secara in vitro. Kuman-kuman ini tampak sensitif pada standar inokulum 105 tetapi pada inokulum yang lebih tinggi yaitu 107 atau 108 tampak meningkatkan MIC, hal ini menunjukkan resistensi. Efek inokulum ini terlihat dengan sefalosporin generasi III seperti Ceftazidime, Cefotaxime dan Ceftriaxone.19,28 Manifestasi klinis tidak berubah bila digunakan sefalosporin generasi III untuk terapi kuman penghasil ESBL walaupun kuman sensitif secara in-vitro. Sefalosporin generasi III tidak dianjurkan dipakai untuk infeksi serius yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL. Meskipun cefepime memperlihatkan lebih stabil terhadap upaya hidrolisis oleh kuman penghasil ESBL daripada sefalosporin generasi III, tetapi perubahan klinis akibat terapi dengan antibiotik  cefepime belum jelas.
Faktor risiko untuk terjadinya infeksi atau kolonisasi kuman penghasil ESBL
1. Pemasangan kateter - Kateter arteri - Kateter vena sentral - Kateter saluran kemih - Gastrostomy atau jejunostomy tube - Kateter umbilikal
2. Tindakan Bedah - Operasi abdominal - Laparotomi darurat
3. Pemakaian antibiotik - Sefalosporin generasi III (terutama Ceftazidime) - Fluoroquinolone - Trimetroprim – sulfamethoxazole
4. Perawatan sebelumnya di panti jompo (Nursing Home).
5. Lamanya waktu perawatan di rumah sakit atau di ICU
Berdasarkan bukti dan data terkini direkomendasikan bahwa penderita yang sakit berat dan kritis dengan risiko tinggi infeksi kuman penghasil ESBL harus di terapi secara empirik, sesuai dengan hasil diagnostik kultur.
Meropenem dan Fosfomicin mempunyai efek yang sama terhadap kuman penghasil ESBL . Kombinasi dengan  aminoglikosida  dapat dipertimbangkan bila terdapat indikasi secara klinis.  Bila mencurigai kuman yang tidak menghasilkan ESBL , terapi empirik harus terdiri dari sefalosporin anti –pseudomonal dengan kombinasi aminoglikosida. Apabila hasil kultur adalah kuman penghasil ESBL , terapi harus dimulai dengan carbapenem dengan aminoglikosida atau fosfomicin.
Strategi untuk mengontrol timbulnya kuman penghasil  ESBL  Spesifik untuk kuman penghasil ESBL dilakukan restriksi penggunaan antibiotik terutama sefalosporin generasi III. Rotational dan penggunaan secara siklik untuk mengurangi resistensi. Survailans dilaksanakan secara periodik untuk mengontrol terjadinya kejadian kuman penghasil ESBL, dengan disertai penggantian penggunaan antibiotik sefalosporin generasi III pada terapi empirik.
Implikasi manajerial dalam Penanganan KLB Kuman Penghasil ESBL
 1. Pengawasan penurunan potensi dan efektivitas antibiotik golongan Sefalosporin generasi III, IV dan Carbapenem di ICU 
2. Pengawasan ketat penggunaan Antibiotik golongan betalaktam (Cephalosporin), terutama di Ruang Perawatan .
3. Peningkatan secara intensif  Standard Precautions dan  optimalisasi Asuhan Keperawatan diruang perawatan.
4. Surveilans  Mikrobiologi Klinik
5. Sistim Pelaporan secara periodik disetiap disiplin ilmu di Klinik mengenai pola kepekaan kuman (hasil antibiogram) terhadap berbagai antibiotik harus segera dilaksanakan
6. Komunikasi antara klinisi dan dokter spesialis mikrobiologi klinik ditingkatkan agar pemberian terapi antibiotik secara bijaksana (prudent use antibiotics) dapat dilaksnakan pada penanganan penderita penyakit infeksi dalam rangka patiet safety.
7. Melibatkan peranan empat infra struktur dalam penanganan penyakit infeksi di RS yaitu Farmasi/Farmakologi Klinik, Panitia Farmasi dan Terapi, Panitia Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, dan  Mikrobiologi Klinik.
Implikasi tersebut diatas adalah berdasarkan formulasi hasil penelitian “Antimicrobial Resistance in Indonesia, Prevalence and Prevention” (AMRIN Study) yang telah dilaksanakan secara tervalidasi, membuktikan adanya masalah-masalah  resistensi antimikroba, penggunaan  antibiotik yang tidak bijaksana serta pengendalian infeksi yang belum dilaksanakan secara benar.
Peran Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Dokter spesialis mikrobiologi klinik adalah profesi yang bertanggung jawab secara operasional dan memiliki dasar kompetensi minimum dokter umum yang menguasai  mikrobiologi kedokteran yang mencakup bakteriologi, virologi, mikologi, dan imunologi, kefarmasian dan farmakokinetik/farmako-dinamik antimikroba, prinsip-prinsip pengelolaan infeksi, dan epidemiologi klinik.
          Sekalipun dokter spesialis mikrobiologi klinik tidak didesain sebagai yang secara langsung memberikan terapi antimikroba, namun melalui ekspertis yang dimilikinya mampu memberikan rekomendasi terapi antimikroba optimal yang evidence based beserta  tindak lanjutnya.

Tidak terbatas hanya pada itu, seorang dokter spesialis mikrobiologi klinik memegang peran penting dalam upaya pengendalian infeksi melalui penerapan universal precaution dan pengendalian antibiotik.

sumber : vera yuanita 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar