HUMAN
DIGNITY IN CLINICAL DECISION
Martabat manusia mencakup banyak aspek
yang saling terkait yaitu rasa hormat, privasi, otonomi dan harga diri. Dalam
mengambil keputusan klinis, martabat manusia sangat penting karena terkait
dengan masalah etik. Ada beberapa masalah yang bisa menimbulkan dilema etik
antara lain:
1.
Definisi
hidup dan mati
2.
Keterbatasan
pengobatan
3.
Kelainan
congenital berat
4.
Kelainan
congenital berat yang terdeteksi saat dalam kandungan
5.
Resusitasi
jantung paru otak
6.
Dan
akhirnya apa yang terjadi setelah kita mengupayakan yang terbaik1
Kasus yang
akan dibahas berikut ini adalah kasus yang terkait dengan peran dokter
spesialis Mikrobiologi Klinik dalam mengatasi suatu keadaan KLB akibat kuman
penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase).
Kasus: Kejadian Luar Biasa kuman penghasil ESBL
(Extended Spectrum Beta Lactamases) di Suatu Rumah Sakit akibat
pemakaian antibiotik golongan Sefalosporin generasi III yang tidak terkontrol
baik penulisan resep, cara pemberian,
dosis, frekuensi, dan
indikasi yang tepat.
PEMBAHASAN MASALAH KLB KUMAN
PENGHASIL ESBL
Infeksi
yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL dapat dibagi lagi menurut berbagai
organ/sistem sebagai berikut:
1.
Infeksi Saluran Kemih
2.
Bakteremia primer dan sekunder
3.
Infeksi saluran napas bawah nosokomial- ventilator associated pneumonia
4.
Infeksi saluran cerna- abses intra abdominal- peritonitischolangitis
5.
Infeksi pada kulit dan jaringan lunak
6.
Infeksi luka infus- pemasangan kateter intra vena sentral dan perifer
7.
Sinusitis
8.
Neurosurgical meningitis- related to ventricular drainage catheters
Infeksi
yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL menunjukkan dilema therapeutic yang
besar karena pilihan antibiotik yang terbatas.
Hal ini disebabkan karena enzim betalaktamase yang dihasilkan kuman
mempunyai spektrum lebar, kuman penghasil ESBL
bersifat resisten terhadap semua golongan beta-laktam termasuk
sefalosporin spektrum lebar, aztreonam, penisilin spektrum lebar, dan sering
dihubungkan dengan masalah resisten terhadap fluoroquinolone. Selanjutnya
antibiotik seperti trimethoprimsulfamethoxazole dan aminoglikosida terutama
gentamisin sering menyebarkan sifat resisten melalui plasmid resisten yang sama, sehingga
menyebabkan multi-resisten. Infeksi kuman penghasil ESBL merupakan infeksi yang
diperoleh penderita selama dirawat dirumah sakit dan termasuk infeksi saluran
kemih, peritonitis, cholangitis, abses intra abdominal, ventilator-associated
pneumonia, dan central-line associated bacteraemia.
Meskipun
kuman-kuman tersebut bisa menyebabkan infeksi nosokomial, juga sangat penting
untuk dibedakan antara kolonisasi dan penyebab infeksi yang signifikan sebelum
memutuskan pilihan terapi antibiotik yang akan digunakan, sebab kuman penghasil
ESBL cenderung untuk kolonisasi di saluran napas atas dan kulit penderita dengan sakit yang serius dan kritis. Rekomendasi
untuk terapi antibiotik secara optimal berdasarkan efektivitasnya, case
series, dan studi observasional secara prospektif. Salah satu problematik
utama dengan sefalosporin dan kuman
penghasil ESBL adalah deteksi sifat
resisten secara in vitro. Kuman-kuman ini tampak sensitif pada standar inokulum
105 tetapi pada inokulum yang lebih tinggi yaitu 107 atau 108 tampak
meningkatkan MIC, hal ini menunjukkan resistensi. Efek inokulum ini terlihat
dengan sefalosporin generasi III seperti Ceftazidime, Cefotaxime dan
Ceftriaxone.19,28 Manifestasi klinis tidak berubah bila digunakan sefalosporin
generasi III untuk terapi kuman penghasil ESBL walaupun kuman sensitif secara
in-vitro. Sefalosporin generasi III tidak dianjurkan dipakai untuk infeksi
serius yang disebabkan oleh kuman penghasil ESBL. Meskipun cefepime
memperlihatkan lebih stabil terhadap upaya hidrolisis oleh kuman penghasil ESBL
daripada sefalosporin generasi III, tetapi perubahan klinis akibat terapi dengan
antibiotik cefepime belum jelas.
Faktor
risiko untuk terjadinya infeksi atau kolonisasi kuman penghasil ESBL
1.
Pemasangan kateter - Kateter arteri - Kateter vena sentral - Kateter saluran
kemih - Gastrostomy atau jejunostomy tube - Kateter umbilikal
2.
Tindakan Bedah - Operasi abdominal - Laparotomi darurat
3.
Pemakaian antibiotik - Sefalosporin generasi III (terutama Ceftazidime) -
Fluoroquinolone - Trimetroprim – sulfamethoxazole
4.
Perawatan sebelumnya di panti jompo (Nursing Home).
5.
Lamanya waktu perawatan di rumah sakit atau di ICU
Berdasarkan
bukti dan data terkini direkomendasikan bahwa penderita yang sakit berat dan
kritis dengan risiko tinggi infeksi kuman penghasil ESBL harus di terapi secara
empirik, sesuai dengan hasil diagnostik kultur.
Meropenem
dan Fosfomicin mempunyai efek yang sama terhadap kuman penghasil ESBL .
Kombinasi dengan aminoglikosida dapat dipertimbangkan bila terdapat indikasi
secara klinis. Bila mencurigai kuman
yang tidak menghasilkan ESBL , terapi empirik harus terdiri dari sefalosporin
anti –pseudomonal dengan kombinasi aminoglikosida. Apabila hasil kultur adalah kuman penghasil ESBL ,
terapi harus dimulai dengan carbapenem dengan aminoglikosida atau fosfomicin.
Strategi
untuk mengontrol timbulnya kuman penghasil
ESBL Spesifik untuk kuman
penghasil ESBL dilakukan restriksi penggunaan antibiotik terutama sefalosporin
generasi III. Rotational dan penggunaan secara siklik untuk mengurangi
resistensi. Survailans dilaksanakan secara periodik untuk mengontrol terjadinya
kejadian kuman penghasil ESBL, dengan disertai penggantian penggunaan
antibiotik sefalosporin generasi III pada terapi empirik.
Implikasi
manajerial dalam Penanganan KLB Kuman Penghasil ESBL
1. Pengawasan penurunan potensi dan
efektivitas antibiotik golongan Sefalosporin generasi III, IV dan Carbapenem di
ICU
2.
Pengawasan ketat penggunaan Antibiotik golongan betalaktam (Cephalosporin),
terutama di Ruang Perawatan .
3.
Peningkatan secara intensif Standard
Precautions dan optimalisasi Asuhan Keperawatan
diruang perawatan.
4.
Surveilans Mikrobiologi Klinik
5.
Sistim Pelaporan secara periodik disetiap disiplin ilmu di Klinik mengenai pola
kepekaan kuman (hasil antibiogram) terhadap berbagai antibiotik harus segera
dilaksanakan
6.
Komunikasi antara klinisi dan dokter spesialis mikrobiologi klinik ditingkatkan
agar pemberian terapi antibiotik secara bijaksana (prudent use antibiotics)
dapat dilaksnakan pada penanganan penderita penyakit infeksi dalam rangka
patiet safety.
7.
Melibatkan peranan empat infra struktur dalam penanganan penyakit infeksi di RS
yaitu Farmasi/Farmakologi Klinik, Panitia Farmasi dan Terapi, Panitia
Pengendalian Infeksi Rumah Sakit, dan
Mikrobiologi Klinik.
Implikasi
tersebut diatas adalah berdasarkan formulasi hasil penelitian “Antimicrobial
Resistance in Indonesia, Prevalence and Prevention” (AMRIN Study) yang telah
dilaksanakan secara tervalidasi, membuktikan adanya masalah-masalah resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana serta
pengendalian infeksi yang belum dilaksanakan secara benar.
Peran
Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik Dokter spesialis mikrobiologi klinik
adalah profesi yang bertanggung jawab secara operasional dan memiliki dasar
kompetensi minimum dokter umum yang menguasai
mikrobiologi kedokteran yang mencakup bakteriologi, virologi, mikologi,
dan imunologi, kefarmasian dan farmakokinetik/farmako-dinamik antimikroba,
prinsip-prinsip pengelolaan infeksi, dan epidemiologi klinik.
Sekalipun
dokter spesialis mikrobiologi klinik tidak didesain sebagai yang secara
langsung memberikan terapi antimikroba, namun melalui ekspertis yang
dimilikinya mampu memberikan rekomendasi terapi antimikroba optimal yang
evidence based beserta tindak lanjutnya.
Tidak
terbatas hanya pada itu, seorang dokter spesialis mikrobiologi klinik memegang
peran penting dalam upaya pengendalian infeksi melalui penerapan universal
precaution dan pengendalian antibiotik.
sumber : vera yuanita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar