Kamis, 26 Maret 2015

SUMBATAN JALAN NAFAS

Pendahuluan
Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat Hipoksemia yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas terjadi paling cepat dibandingkan hipoksemia akibat gangguan fungsi organ yang lain. Oleh karena itu pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan cara jalan nafas dipertahankan terbuka, ventilasi adekwat dan beri oksigen.
Gangguan jalan nafas dapat mendadak, perlahan-lahan progresif, total atau parsial dan berulang karena itu perlu reevaluasi dari waktu ke waktu.
Kesalahan yang paling sering ditemukan dalam pengelolaan jalan nafas adalah bahwa penolong tidak menyadari adanya sumbatan jalan nafas, keterlambatan mem berikan pertolongan, kesulitan tehnik dan kurangnya ketrampilan.
Sumbatan jalan nafas dapat disebabkan oleh tindakan anestesi (penderita tak sadar, obat pelumpuh otot, muntahan), suatu penyakit (koma apapun sebabnya, stroke, radang otak), traumafkecelakaan (trauma maksilofasial, trauma kepala, keracunan). Tapi apapun penyebabnya dasar-dasar pengelolaannya adalah sama.

Patofisiologi
Pada keadaan dimana ada penurunan kesadaran misalnya pada tindakan anestesi, penderita trauma kepalaatauoleh karena suatu penyakit, maka akan terjadi relaksasi otot-otot termasuk otot I idah dan sphincter cardia akibatnya bila posisi penderita terlentang maka pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutup orofaring, sehingga menimbulkan sumbatan jalan nafas. Sphincter cardia yang relaks, menyebabkan isi lambung mengalirkembali keorofaring (regurgitasi). Hal ini merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan nafas oleh aspirat yang padat dan aspirasi pneumonia oleh aspirat cair, sebab pada keadaan ini pada umumnya reflek batuk sudah menurun atau hilang.
Trauma di daerah wajah dapat menyebabkan edema, patah tulang, perdarahan, lepasnya gigi dan hipersekresi yang dapat men imbulkan masalah/sumbatan jalan nafas. Patah tulang mandibula bilateral menyebabkan lidah kehilangan penyangga sehingga penderita sulit untuk menelan dan bila berbaring lidah alcan jatuh menutup jalan nafas walaupun penderita dalam keadaan radar. Pada keadaan seperti ini posisi penderita yang paling enak adalah duduk agak membungkuk. Trauma tajam pada leher dapat menimbulkan perdarahan dan hematoma yang dapat menggeser posisi jalan nafas. Pendesakan oleh hematoma ini dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan menyulitkan pada waktu intubasi endotrakheal. Apabila tidak memungkinkan dilakukan intubasi endotrakheal, harus segera dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi.
Trauma tumpul pada leher dapat menimbulkan edema dan kerusakan pada laying dan trakhea yang dapat menyumbat jalan nafas.

Macam Sumbatan Jalan Nafas
Parsial :
- Ringan
- Berat
- Total

Tanda-tanda Sumbatan Jalan Nafas
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada tidaknya sumbatan jalan nafas dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen), dan feel (raba), lihat (look)
Dilihat apakah penderita mengalami agitasi atau penurunan kesadaran. Agitasi memberi kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh karena sumbatan jalan nafas, sedangkan penurunan kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia yang mungkin disebabkan oleh hipoventi Iasi akibat sumbatan jalan nafas.
Dilihat pu la pergerakan dada dan perut waktu bernafas, normalnya pada posisi berbaring waktu inspirasi dinding dada bergerak keatas dinding-dinding perut bergerak ke atas dan waktu ekspirasi dinding dada turun dinding perut juga turun. Pada sumbatan jalan nafas total atau parsial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding perut bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak nafas ini disebut see saw atau rocking respiration.
Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda tambahati adanya sumbatan jalan nafas. Sianosis yang terlihat di kuku atau bibir menunjukkan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekwat. Pada penderita trauma perlu dilihat adanya deform itas daerah maksilofasial atau leher serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi dan muntahan yang dapat menyum bat jalan nafas.

Dengar (listen)
Didengar suara nafas dan ada tidaknya suara tambahan. Adanya suara nafas tam bahan berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara nafas tambahan dapat berupa dengkuran (snoring), kumuran (gurgling), atau siulan (crowing/stridor). Snoring disebabkan oleh lidah yang menutup orofaring, gurgling karena sekret, darah atau muntahan dan crowing/stridor menunjukkan adanya penyempitan jalan nafas karena spasme, edema atau pendesakan. Suara bicara penderita yang nor­mal menunjukkan tidak ada sum batan jalan nafas sedangkan suara yang parau menunjukkan adanya masalah di daerah laring.

Raba (feel)
Di rabakan hawa ekspirasi yag keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada tidaknya getaran di leher waktu bernafas. Adanya getaran di leher menunjukkan sumbatan parsial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah ada fraktur di daerah maksilofasial, bagaimana posisi trakhea

Pengelolaan Jalan Nafas
Penilaian dan pengelolaan jalan nafas harus dilakukan dengan cepat tepat dan cermat untuk mencegah terjadinya hipoksemia.
Tindakan ditujukan untuk membuka dan menjaga jalan nafas tetap bebas dan waspada terhadap keadaan klinis yang menyumbat atau potensial akan menyumbat jalan nafas.
Penyebab sumbatan jalan nafas yang paling sering:
·         Lidah dan Epiglotis
·         Muntahan, darah, sekret, benda asing
·         Trauma daerah maksilofasial
·         Lidah dan epiglotis
Pada penderita yang mengalami penurunan tingkat kesadaran maka lidah akan jatuh ke belakang menyumbat hipofarings atau epiglotis jatuh kebelakang menutup rima glotidis.
Dalam keadaan seperti ini, pembebasan jalan napas dapat dilakukan tanpa alat maupun dengan rnenggunakan jalan napas buatan. Membuka jalan napas tanpa alat dilakukan dengan cara head tilt, chin lift, jaw thrust.
Sedangkan alat-alat yang dipakai untuk mengatasi sumbatan jalan napas karena lidah adalah jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal.
Pada penderita trauma, tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membuka jalan napas, dapat menyebabkan atau memperburuk cedera tulang leher. Oleh karena itu pada penderita trauma dengan dugaan cedera tulang leher cara yang dianjurkan hanya jaw thrust dan chin lift dengan immobilisasi kepala dan leher (in-line im­mobilization) secara manual atau memakai neck collar.

Chin Lift
Empat jari salah satu tangan diletakkan dibawah rahang ibu jari diatas dagu, kemudian secara hati-hati dagu diangka kedepan. Bila perlu ibu jari dipergunakan untuk membuka mulut/bibir atau dikaitkan pada gigi seri bagian bawah untuk mengangkat rahang bawah. Manuver chin lift ini tidak boleh menyebabkan posisi kepala hiperekstensi.

Jaw Thrust
Mendorong angulus mandibula kanan dan kiri ke depan dengan jari-jari kedua tangan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas, kedua ibu jari membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua pipi penderita untuk melakukan immobilisasi kepala.
Tindakan jaw thrust, buka mulut dan head tilt disebut triple airway maneuver.

Jalan Nafas Orofaringeal
Alat ini dipasang lewat mulut sampai ke faring sehingga menahan lidah tidak jatuh menutup hipofarings. Ukuran harus tepat yaitu dari tengah mulut sampai ke angulus mandibula atau dari tepi mulut sampai ke tragus. Bila kekecilan malah akan medorong lidah kebelakang hingga makin menyumbat.
Ada 2 cara pemasangan yaitu secara langsung dengan bantuan spatula lidah atau secara tidak langsung dengan caraterbalik menyusuri palatum durum sampai palatum molle kemudian diputar 180° sehingga bagian yang cekung mengarah ke caudal. Alat ini merangsang muntah dan tidak disukai bila kesadaran penderita membaik.

Jalan Nafas Nasofaringeal
Alat dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan menahan jatuhnya pangkal lidah agar tidak menutup hipofaring.
Diameter disesuaikan dengan besarnya lubang hidung penderita, secara gampang kira-kira sebesar diameter jari kelingking penderita. Pada waktu memasang, pelumasan harus baik agar tidak melukai pembuluh darah yang ada di rongga hidung. Alat ini lebih dapat di terima oleh penderita dan lebih kecil kemungkinan merangsang muntah dibandingkan jalan nafas orofaringeal.

Muntahan, darah, sekret, benda asing
Penghisap yang berfungsi balk dan berkemampuan tinggi harus ada di ruang gawat darurat untuk menghisap darah, muntahan atau sekret yang berada di jalan nafas. Ada 2 macam kateter penghisap yang sering digunakan yaitu rigid tonsil dental suction tip atau soft catheter suction tip. Untuk menghisap rongga mulut dianjurkan memakai yang rigid tonsil/dental tip sedangkan untuk menghisap lewat pipa endotrakheal atau trakheostomi menggunakan yang soft catheter tip. Jangan menggunakan soft catheter tip lewat lubang hidung pada penderita yang dengan fraktur lamina cribosa karena dapat menembus masuk rongga otak. Harus diperhatikan tata cars penghisapan agar tidak mendapatkan komplikasi yang dapat fatal. Benda asing misalnya daging atau patahan gigi dapat dibersihkan secara manual dengan jari-jari. Bi la terjadi chocking (tersedak) umumya "nyantol" didaerah subglotis, dicoba dulu dengan cara back blows, abdominal thrust (Heimlich ma­neuver).

Trauma daerah Maksilofasial
Di coba membebaskan jalan nafas dengan cara-caresdiatas, tapi bila tidak berhasil segera dilaksanakan pemasangan jalan napas yang definitif yaitu intubasi endotrakeal atau krikotiroidotomi, atau trakheostomi.

Jalan Napas Definitif
Yang dimaksud jalan napas definitifadalah pips jalan napas yang dilengkapi dg balon (cuff), yang dapat dikembangkan yang dapat dipasang di trakhea.
Tujuan pemasangan jalan nafas definitif untuk mempertahankan jalan napas, pemberian ventilasi, oksigenasi dan pencegahan aspirasi.

Ada 2 macam:
1. Intubasi endotrakheal :
-      orotrakheal
-      nasotrakheal
2. Dengan pembedahan (surgical airway)
-      krikotiroidotomi
-      trakheostomi

Beberapa keadaan klinik yang memerlukan jalan napas definitif antara lain apnea, tidak mampu mempertahankan jalan nafas dengan cara-cara yang lain, pencegahan aspirasi darah atau muntahan, ancaman terjadinya sumbatan jalan nafas (contoh trauma inhalasi, status konvulsi, trauma maksilofasial, trauma/cedera kepala tertutup dengan GCS kurang dari 8, tak berhasil memperoleh oksigenasi yang adekwat dengan menggunakan masker.

Intubasi endotrakeal
Harus di lakukan oleh mereka yang terlatih dan terampil disertai peralatan yang lengkap. Dapat dilakukan lewat mulut (orotrakheal) atau lewat hidung (nasotrakheal) secara avue (dengan bantuan laringoskop) atau blind (tanpa laringoskop dengan tuntunan nafas penderita). Pada penderita yang awake atau asleesk (tak sadar atau ditidurkan). Untuk yang asleep dapat secara non apnea atau apnea (memang tak bernafas atau diberi pelumpuh otot).
Cara intubasi yang dipilih tergantung keadaan penderita, pengalaman, keputusan dan ketrampilan dokter. Sebelum dilakukan intubasi perlu oksigenasi dan bila perlu bantuan ventilasi. Akan lebih balk bila dilakukan monitoring saturasi oksigen dengan pulse oxymetri dan EKG.
Hati-hati pada penderita cedera tulang leher tindakan laringoskopi dapat menyebabkan posisi kepala hiperekstensi karena itu perlu immobilisasi kepala dan leher.
Surgical Airway
Dilakukan bila tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi endotrakheal, dapat berupa :
Krikotiroidotomi dengan jarum (needle cricothyroidotomy). Ditusukkan jarum/ kanula ke trakhea ke arah distal lewat mem brana krikotiroidea. Ukuran jarum 12-14G pada dewasa atau 16-18G pada anak. Ujung jarum/kanula dengan Y konektor dihubungkan ke sumber oksigen dengan aliran 12-15 1/m. Cara ini disebut jet insufflation untuk memberikan oksigen dengan cepat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar