Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang
rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti dari mulai pelayanan
personal (Personal Service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini
sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendefinisikan pengertian
jasa. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
Kotler (1994) dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2008:6)
mendefinisikan jasa sebagai tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh
satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak
mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa bisa berkaitan dengan produk
fisik atau sebaliknya.
Menurut Tjiptono (2000:57) dalam Febrianto (2011), jasa
merupakan proses sosial yang melibatkan interaksi antar manusia.
Konsekuensinya, di dalamnya termasuk pula interpretasi atas makna berbagai
obyek, perkataan, dan sikap baik, sebelum, saat, maupun setelah proses jasa
berlangsung.
Menurut Payne (1993:8) jasa merupakan suatu kegiatan
yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan (intangibility) yang berhubungan dengannya, yang melibatkan
beberapa interaksi dengan konsumen dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan.
Perubahan kondisi mungkin saja terjadi dan produksi jasa bisa saja berhubungan
atau bisa pula tidak berkaitan dengan produk fisik.
Definisi lainnya yang berorientasi pada aspek proses
atau aktivitas dikemukakan oleh Gronroos dalam Tjiptono dan Chandra (2011:17)
jasa adalah proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi
antara pelanggan dan karyawan jasa dan/atau sumber daya fisik atau barang dan/atau sistem penyedia jasa,
yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan.
Sementara perusahaan yang memberikan operasi jasa
adalah perusahaan yang memberikan konsumen produk jasa baik yang berwujud atau
tidak, seperti transportasi, hiburan, restoran, dan pendidikan.
Dari berbagai definisi di atas, tampak bahwa di
dalam jasa selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pihak produsen
(jasa), meskipun pihak-pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa bukan
suatu barang, melainkan suatu proses atau aktivitas yang tidak berwujud.
Jadi dengan demikian, jasa atau pelayanan merupakan
suatu kinerja penampilan yang tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat
dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif
dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.
Berbagai riset dan literatur manajemen dan pemasaran
jasa mengungkap bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya
dari barang dan berdampak pada strategi mengelola dan memasarkannya. Keempat
karakteristik utama tersebut dinamakan paradigm IHIP: Intangibility, Heterogineity, Inseparability, dan Perishability
yang dikemukakan oleh Lovelock & Gummesson dalam Tjiptono&Chandra (2011:34).
a.
Tidak berwujud (intangibility)
Jasa tidak sama seperti barang atau produk fisik,
jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli
dan dikonsumsi.
b. Bervariasi
(variability/heterogeneity)
Jasa
bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output, artinya
terdapat banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung pada siapa,
kapan, dan dimana jasa tersebut diproduksi.
c.
Tidak terpisahkan (inseparability)
biasanya
diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, baru sedangkan jasa umumnya dijual
terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat
yang sama. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan cirri khusus
dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa bersangkutan.
d.
Mudah lenyap (perishability)
Jasa
merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian
ulang di waktu mendatang, dijual kembali, atau dikembalikan. Oleh karena itu, perusahaan
jasa biasanya menghadapi masalah yang rumit bilamana terjadi fluktuasi
permintaan.
Berdasarkan
keempat karakteristik tersebut, menurut Kotler dalam Lupiyoadi&Hamdani (2008:84)
“the offer” atau penawaran jasa dapat dibagi menjadi empat kategori,
yaitu:
a.
Barang murni berwujud (a pure tangible goods), contoh: sabun
mandi, pasta gigi, atau garam. Tidak ada jasa yang menyertai produk.
b.
Barang berwujud dengan jasa yang
menyertainya (a tangible goods with
accompanying service) untuk meningkatkan daya tarik konsumen, contoh:
komputer dengan jasa instalnya.
c.
Jasa mayor disertai barang dan jasa
minor (a major service with accompanying
minor goods and service), contoh: jasa penerbangan kelas satu.
Jasa
murni (a pure service), contoh: jasa
penjaga anak dan psikoterapi.
Pemasaran Untuk Sektor Jasa
Untuk menanggapi proses pertukaran diperlukan usaha
dan ketrampilan. Maka, di sinilah diperlukan suatu pemasaran, baik untuk usaha
manufaktur maupun usaha dagang. Tidak peduli untuk jenis barang maupun jasa,
semuanya tidak lepas dari peran penting pemasaran. Akan tetapi, khusus untuk
produk jasa yang wujudnya tidak dapat dilihat secara nyata, maka diperlukan
pemasaran yang berbeda dengan pemasaran untuk barang.
Menurut Kotler & Keller (2007:50)
pertemuan-pertemuan jasa merupakan interaksi yang rumit yang dipengaruhi oleh
banyak unsur, maka pengadopsian suatu perspektif pemasaran holistik menjadi
sangat penting. Pemasaran holistik untuk jasa menuntut pemasaran eksternal,
internal, dan interaktif.
Pemasaran eksternal menggambarkan pekerjaan biasa
untuk menyiapkan, menetapkan harga, mendistribusikan, dan mempromosikan jasa
tersebut kepada pelanggan. Pemasaran internal menggambarkan pekerjaan untuk
melatih dan memotivasi karyawannya untuk melayani pelanggan dengan baik.
Pemasaran interaktif menggambarkan kemampuan karyawan dalam melayani pelanggan.
Karena pelanggan tersebut menilai jasa bukan hanya berdasarkan mutu teknisnya
tetapi juga berdasarkan mutu fungsionalnya.
Kualitas Jasa
Salah satu faktor yang menentukan tingkat
keberhasilan dan kualitas perusahaan, menurut John Sviokla adalah kemampuan
perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan perusahaan
dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada para pelanggannya, pencapaian
pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan laba perusahaan tersebut ditentukan
oleh pendekatan yang digunakan (Zeithmal, Berry, dan Parasuraman: 1996).
Salah
satu pendekatan kualitas pelayanan yang
banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model ServQual (Service
Quality) seperti yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithmal, dan Berry
seperti yang dikutip oleh Lopiyoadi (2006) dalam serangkaian penelitian mereka
terhadap enam sektor jasa, reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit,
asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas.
Lewis
& Booms yang dikutip oleh Tjiptono & Chandra (2011) mendefinisikan
kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan.
Berdasarkan definisi ini, kualitas jasa bisa diwujudkan melalui pemenuhan
kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk
mengimbangi harapan pelanggan. Dengan demikian, ada dua faktor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa: jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa
yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service) (Parasuraman, dkk dalam
Tjiptono & Chandra, 2011:180). Jika kenyataannya/yang dirasakannya lebih
dari yang diharapkan maka layanan dapat dikatakan berkualitas, dan sebaliknya
jika yang dirasakan lebih jelek/tidak sesuai dengan yang diharapkan maka
kualitas jasa dipersepsikan negative atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya
kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan
pelanggannya secara kosisten.
Kualitas pelayanan (Service Quality) seperti yang
dikatakan oleh Parasuraman dalam Lupiyoadi (2006) dapat didefinisikan yaitu:
“Seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan konsumen atas pelayanan
yang mereka terima atau peroleh”. Sementara menurut Rangkuti (2004:28) bahwa:
“Kualitas jasa didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan konsumen”. Definisi
tersebut menekankan pada kelebihan dari tingkat kepentingan konsumen sebagai
inti dari kualitas jasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar