Senin, 30 Maret 2015

JASA

Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti dari mulai pelayanan personal (Personal Service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendefinisikan pengertian jasa. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
Kotler (1994) dalam Lupiyoadi dan Hamdani (2008:6) mendefinisikan jasa sebagai tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi jasa bisa berkaitan dengan produk fisik atau sebaliknya.
Menurut Tjiptono (2000:57) dalam Febrianto (2011), jasa merupakan proses sosial yang melibatkan interaksi antar manusia. Konsekuensinya, di dalamnya termasuk pula interpretasi atas makna berbagai obyek, perkataan, dan sikap baik, sebelum, saat, maupun setelah proses jasa berlangsung.
Menurut Payne (1993:8) jasa merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan (intangibility) yang berhubungan dengannya, yang melibatkan beberapa interaksi dengan konsumen dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan. Perubahan kondisi mungkin saja terjadi dan produksi jasa bisa saja berhubungan atau bisa pula tidak berkaitan dengan produk fisik.
Definisi lainnya yang berorientasi pada aspek proses atau aktivitas dikemukakan oleh Gronroos dalam Tjiptono dan Chandra (2011:17) jasa adalah proses yang terdiri atas serangkaian aktivitas intangible yang biasanya (namun tidak harus selalu) terjadi pada interaksi antara pelanggan dan karyawan jasa dan/atau sumber daya fisik  atau barang dan/atau sistem penyedia jasa, yang disediakan sebagai solusi atas masalah pelanggan.
Sementara perusahaan yang memberikan operasi jasa adalah perusahaan yang memberikan konsumen produk jasa baik yang berwujud atau tidak, seperti transportasi, hiburan, restoran, dan pendidikan.
Dari berbagai definisi di atas, tampak bahwa di dalam jasa selalu ada aspek interaksi antara pihak konsumen dan pihak produsen (jasa), meskipun pihak-pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa bukan suatu barang, melainkan suatu proses atau aktivitas yang tidak berwujud.
Jadi dengan demikian, jasa atau pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan yang tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.
Berbagai riset dan literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkap bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dari barang dan berdampak pada strategi mengelola dan memasarkannya. Keempat karakteristik utama tersebut dinamakan paradigm IHIP: Intangibility, Heterogineity, Inseparability, dan Perishability yang dikemukakan oleh Lovelock & Gummesson dalam Tjiptono&Chandra (2011:34).
a.       Tidak berwujud (intangibility)
Jasa tidak sama seperti barang atau produk fisik, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum dibeli dan dikonsumsi.
b.      Bervariasi (variability/heterogeneity)
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output, artinya terdapat banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut diproduksi.
c.       Tidak terpisahkan (inseparability)
biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, baru sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan cirri khusus dalam pemasaran jasa. Keduanya mempengaruhi hasil (outcome) dari jasa bersangkutan.
d.         Mudah lenyap (perishability)
Jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu mendatang, dijual kembali, atau dikembalikan. Oleh karena itu, perusahaan jasa biasanya menghadapi masalah yang rumit bilamana terjadi fluktuasi permintaan.
Berdasarkan keempat karakteristik tersebut, menurut Kotler dalam Lupiyoadi&Hamdani (2008:84) “the offer” atau penawaran jasa dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a.          Barang murni berwujud (a pure tangible goods), contoh: sabun mandi, pasta gigi, atau garam. Tidak ada jasa yang menyertai produk.
b.         Barang berwujud dengan jasa yang menyertainya (a tangible goods with accompanying service) untuk meningkatkan daya tarik konsumen, contoh: komputer dengan jasa instalnya.
c.          Jasa mayor disertai barang dan jasa minor (a major service with accompanying minor goods and service), contoh: jasa penerbangan kelas satu.
Jasa murni (a pure service), contoh: jasa penjaga anak dan psikoterapi.

Pemasaran Untuk Sektor Jasa
Untuk menanggapi proses pertukaran diperlukan usaha dan ketrampilan. Maka, di sinilah diperlukan suatu pemasaran, baik untuk usaha manufaktur maupun usaha dagang. Tidak peduli untuk jenis barang maupun jasa, semuanya tidak lepas dari peran penting pemasaran. Akan tetapi, khusus untuk produk jasa yang wujudnya tidak dapat dilihat secara nyata, maka diperlukan pemasaran yang berbeda dengan pemasaran untuk barang.
Menurut Kotler & Keller (2007:50) pertemuan-pertemuan jasa merupakan interaksi yang rumit yang dipengaruhi oleh banyak unsur, maka pengadopsian suatu perspektif pemasaran holistik menjadi sangat penting. Pemasaran holistik untuk jasa menuntut pemasaran eksternal, internal, dan interaktif.
Pemasaran eksternal menggambarkan pekerjaan biasa untuk menyiapkan, menetapkan harga, mendistribusikan, dan mempromosikan jasa tersebut kepada pelanggan. Pemasaran internal menggambarkan pekerjaan untuk melatih dan memotivasi karyawannya untuk melayani pelanggan dengan baik. Pemasaran interaktif menggambarkan kemampuan karyawan dalam melayani pelanggan. Karena pelanggan tersebut menilai jasa bukan hanya berdasarkan mutu teknisnya tetapi juga berdasarkan mutu fungsionalnya.

Kualitas Jasa
Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan, menurut John Sviokla adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan layanan yang berkualitas kepada para pelanggannya, pencapaian pangsa pasar yang tinggi, serta peningkatan laba perusahaan tersebut ditentukan oleh pendekatan yang digunakan (Zeithmal, Berry, dan Parasuraman: 1996).
            Salah satu pendekatan  kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model ServQual (Service Quality) seperti yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithmal, dan Berry seperti yang dikutip oleh Lopiyoadi (2006) dalam serangkaian penelitian mereka terhadap enam sektor jasa, reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas.
            Lewis & Booms yang dikutip oleh Tjiptono & Chandra (2011) mendefinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan  mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Berdasarkan definisi ini, kualitas jasa bisa diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Dengan demikian, ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa: jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dirasakan/dipersepsikan (perceived service) (Parasuraman, dkk dalam Tjiptono & Chandra, 2011:180). Jika kenyataannya/yang dirasakannya lebih dari yang diharapkan maka layanan dapat dikatakan berkualitas, dan sebaliknya jika yang dirasakan lebih jelek/tidak sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan negative atau buruk. Oleh sebab itu, baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara kosisten.
Kualitas pelayanan (Service Quality) seperti yang dikatakan oleh Parasuraman dalam Lupiyoadi (2006) dapat didefinisikan yaitu: “Seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan konsumen atas pelayanan yang mereka terima atau peroleh”. Sementara menurut Rangkuti (2004:28) bahwa: “Kualitas jasa didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang akan  melebihi tingkat kepentingan konsumen”. Definisi tersebut menekankan pada kelebihan dari tingkat kepentingan konsumen sebagai inti dari kualitas jasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar