Senin, 30 Maret 2015

Pengaturan Hukum Nasional tentang Hak-Hak Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia

KUHP dalam pasal 14c menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi dalam masa percobaan. Syarat umum tersebut mewajibkan terpidana untuk mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam waktu tertentu. Dan pasal 14c ini secara tidak langsung melakukan pendekatan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti rugi pada korban. Mengusahakan upaya membantu pemulihan kerugian oleh korban dengan melibatkan lembaga-lembaga lain atas kerugian meteriil dan immateriil.
Keputusan Menteri kehakiman RI No. M. 01. PW. 07. 03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa perlindungan terhadap hak korban tindak pidana diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapatkan ganti rugi yang dideritanya, yaitu dengan menggabungkan perkara pidananya dengan permohonan untuk mempercepat ganti rugi, yang pada hakekatnya merupakan suatu perkara perdata dan yang biasanya diajukan melalui gugatan perdata dengan demildan akan dihemat waktu dan biaya perkara. Demikian pula dengan Petunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No. B 187/E/5/1995 kepada kepala Kejaksaan Tinggi di Seluruh Indonesia yang mengharuskan jaksa penuntut umum untuk memberitahukan pada para korban kejahatan mengenai hak-haknya sesuai dengan pasal 98 KUHAP sebelum dibacakannya tuntutan sesuai dengan keputusan Menteri Kehakiman RI No. Masyarakat M. 01. PW. 07. 03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP. Korban pelanggaran HAM berat secara khusus mendapatkan perhatian dalam UU No. 26 tahun 2000. Pasal 35 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ayat 2 menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga dimana ganti rugi ini dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan terterntu. Sedangkan yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan korban pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat adalah PP No. 3 tahun 2002. PP ini lebih banyak mengatur tentang mekanisme pemberian kompensasi, restitusi dan rahabilitasi setelah adanya putusan mengenai restitusi, kompensasi dan rahabilitasi dalam amar putusan.
Dalam KUHAP terdapat mekanisme tentang ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian bisa dimintakan oleh tersangka atau terdakwa dalam kaitannya dengan proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada aparat penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang dideritanya kepada pelaku. Sedangkan ketentuan mengenai rehabilitasi adalah berkenaan dengan hak-hak terdakwa. Dalam konteks ini mekanisme yang ditawarkan oleh KUHAP untuk hak-hak korban adalah mekanisme untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku.
Mekanisme pengajuan ganti kerugian dalam KUHAP ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan (1) mengajukan gugatan perdata setelah perkara pidananya diputus atau (2) menggabungkan antara pengajuan ganti kerugian dengan pokok perkaranya. Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan dalam dalam konteks kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pelanggaran HAM berat karena hams ada putusan dan pengadilan HAM. Mekanisme kedua yaitu melalui penggabungan masih dapat dilakukan dalam konteks restitusi untuk pelanggaran HAM berat ini.
Mekanisme panggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan yang menjadi &gar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara ganti kerugaian kepada perkara pidana itu. Cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana adalah dengan permintaan perhatian penuntut umum agar hakim dapat mencantumkan dalam diktum putusan pidana. Dalam pasal 98 ayat 2 KUHAP saksi korban dapat mengajukan "petitum" tersendiri secara lisan maupun tulisan dalam persidangan sebelum hakim menjatuhkan putusannya.
Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh melalui prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa kendala antara lain :
1.        Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat individual, yalcni ditujukan kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bias dilimpahkan kepada pihak lain. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan bagi korban untuk mendapatkan jaminan dilaksanakannya putusan ganti rugi akibat ketidak mampuan pelaku.
2.        Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu hams mengajukan permohonan sebelum jaksa mengajukan tuntutan sedangkan banyak korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur hukum tentang ganti kerugian.
3.        Perkara gugatan ganti kerugian merupakan tambahan, yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya), maka jika perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat tidak dapat mengajukan upaya hukum


Tidak ada komentar:

Posting Komentar