KUHP dalam pasal 14c menyatakan bahwa hakim dapat
menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat umum dan syarat khusus yang harus
dipenuhi dalam masa percobaan. Syarat umum tersebut mewajibkan terpidana untuk
mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
dalam waktu tertentu. Dan pasal 14c ini secara tidak langsung melakukan
pendekatan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pembayaran
ganti rugi pada korban. Mengusahakan upaya membantu pemulihan kerugian oleh
korban dengan melibatkan lembaga-lembaga lain atas kerugian meteriil dan
immateriil.
Keputusan Menteri kehakiman RI No. M. 01. PW. 07. 03
tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa perlindungan
terhadap hak korban tindak pidana diberikan dengan mempercepat proses untuk
mendapatkan ganti rugi yang dideritanya, yaitu dengan menggabungkan perkara
pidananya dengan permohonan untuk mempercepat ganti rugi, yang pada hakekatnya
merupakan suatu perkara perdata dan yang biasanya diajukan melalui gugatan
perdata dengan demildan akan dihemat waktu dan biaya perkara. Demikian pula
dengan Petunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No. B 187/E/5/1995 kepada
kepala Kejaksaan Tinggi di Seluruh Indonesia yang mengharuskan jaksa penuntut
umum untuk memberitahukan pada para korban kejahatan mengenai hak-haknya sesuai
dengan pasal 98 KUHAP sebelum dibacakannya tuntutan sesuai dengan keputusan
Menteri Kehakiman RI No. Masyarakat M. 01. PW. 07. 03 tahun 1982 tentang
pedoman pelaksanaan KUHAP. Korban pelanggaran HAM berat secara khusus
mendapatkan perhatian dalam UU No. 26 tahun 2000. Pasal 35 ayat 1 UU No. 26
Tahun 2000 menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM yang berat dan atau ahli
warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ayat 2
menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Ayat 3 menyatakan
bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelasan pasal tersebut kompensasi diartikan
sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian yang sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Restitusi
diartikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga dimana ganti rugi ini dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau
penggantian biaya untuk tindakan terterntu. Sedangkan yang dimaksud dengan
rehabilitasi adalah pemulihan korban pada kedudukan semula, misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.
Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat
adalah PP No. 3 tahun 2002. PP ini lebih banyak mengatur tentang mekanisme
pemberian kompensasi, restitusi dan rahabilitasi setelah adanya putusan
mengenai restitusi, kompensasi dan rahabilitasi dalam amar putusan.
Dalam KUHAP terdapat mekanisme tentang ganti kerugian
dan rehabilitasi. Ganti kerugian bisa dimintakan oleh tersangka atau terdakwa
dalam kaitannya dengan proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada
aparat penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang dideritanya kepada
pelaku. Sedangkan ketentuan mengenai rehabilitasi adalah berkenaan dengan
hak-hak terdakwa. Dalam konteks ini mekanisme yang ditawarkan oleh KUHAP untuk
hak-hak korban adalah mekanisme untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku.
Mekanisme pengajuan ganti kerugian dalam KUHAP ini
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan (1) mengajukan gugatan perdata
setelah perkara pidananya diputus atau (2) menggabungkan antara pengajuan ganti
kerugian dengan pokok perkaranya. Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan dalam
dalam konteks kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam pelanggaran HAM
berat karena hams ada putusan dan pengadilan HAM. Mekanisme kedua yaitu melalui
penggabungan masih dapat dilakukan dalam konteks restitusi untuk pelanggaran
HAM berat ini.
Mekanisme panggabungan perkara pidana dengan tuntutan
ganti rugi diatur dalam pasal 98 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa jika suatu
perbuatan yang menjadi &gar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim
ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara ganti kerugaian kepada perkara pidana itu. Cara untuk pemulihan
kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana adalah dengan permintaan
perhatian penuntut umum agar hakim dapat mencantumkan dalam diktum putusan
pidana. Dalam pasal 98 ayat 2 KUHAP saksi korban dapat mengajukan
"petitum" tersendiri secara lisan maupun tulisan dalam persidangan
sebelum hakim menjatuhkan putusannya.
Pada prakteknya gugatan ganti kerugian yang ditempuh
melalui prosedur penggabungan perkara pidana dan perdata, mengalami beberapa
kendala antara lain :
1.
Tanggung jawab mengganti kerugian bersifat
individual, yalcni ditujukan kepada pelaku tindak pidana saja dan tidak bias
dilimpahkan kepada pihak lain. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan bagi
korban untuk mendapatkan jaminan dilaksanakannya putusan ganti rugi akibat
ketidak mampuan pelaku.
2.
Memerlukan tindakan aktif korban kejahatan, yaitu
hams mengajukan permohonan sebelum jaksa mengajukan tuntutan sedangkan banyak
korban kejahatan yang pada umumnya tidak mengetahui mengenai prosedur hukum
tentang ganti kerugian.
3.
Perkara gugatan ganti kerugian merupakan
tambahan, yang tidak dapat dipisahkan dengan perkara pokok (perkara pidananya),
maka jika perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, pihak penggugat
tidak dapat mengajukan upaya hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar