Senin, 23 Maret 2015

CYBERWARFARE DAN PERSAINGAN INDUSTRI TEKNOLOGI INFORMASI

            Menurut John Arquilla, persaingan industri telekomunikasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor mengapa negara mensponsori kegiatan Computern Network Operations (CNO). Sebuah negara yang ingin bersaing di bidang teknologi selalu memprioritaskan pertumbuhan perusahaan-perusahaan software dan hardware, Penyedia jasa information technology (IT), akses terhadap jaringan perusahaan IT internasional, kerjasama industri IT dengan negara-negara asing, dan pengembangan sumber daya manusia untuk mencetak sarjana-sarjana IT profesional. Dengan program-program pengembangan IT tersebut negara akan mampu bersaing dengan industri IT internasional yang sudah mapan seperti Amerika Serikat yang memiliki kawasan industri IT Sillicon Valley di San Francisco.
            Hingga saat ini industri IT dunia masih dikuasai oleh Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 10.000 perusahaan dengan skala besar, medium, hingga perusahaan kecil dengan jumlah pegawai di bawah 500 orang. Industri IT di AS mengalami pertumbuhan rata-rata 6% antara tahun 2010 hingga 2011, dengan total nilai ekonomi 606 trilyun US$ pada tahun 2011. Sebagaimana dijelaskan di atas, industri IT di Amerika Serikat didukung oleh program-program negara seperti kemunculan internet yang diinisiasi oleh proyek ARPANET NSA dan didukung juga oleh NASA yang menyediakan teknologi satelit. Sejak ditemukannya World Wide Web, perusahaan IT yang fokus pada situs pencari Yahoo! dan Google mengembangkan teknologi untuk mencari dan mensortir laman web sesuai dengan relevansinya. Sementara itu perusahaan seperti IBM dan Apple mengembangkan personal computers (PC) dan laptop, dan tidak kalah ketinggalan perusahaan Microsoft mengembangkan program-program software untuk para pengguna komputer.
            Hegemoni di bidang IT tersebut membuat AS menjadi target sasaran para hackers dari seluruh dunia. Para hackers adalah para pengguna internet (users) yang memanfaatkan kelemahan sistem komputer dan jaringan internet. Serangan hackers tersebut dapat berupa password cracking, rootkit, trojan horse, serangan virus, computer worm, packet analyzer, pembobolan uang di rekening pribadi seseorang di bank yang menggunakan internet, hingga pencurian kode-kode aktifasi program komputer seperti microsoft office. Serangan para peretas dunia maya tersebut memunculkan isu perlunya dibentuk mekanisme pertahanan dalam sistem komputer dan jaringan internet pada berbagai situs militer, perusahaan swasta di bidang IT, hingga komputer pribadi setiap orang. Mekanisme pertahanan tersebut berupa program antivirus, password, kode-kode aktifasi rahasia dan sistem firewall untuk menahan gempuran para peretas.
            Negara juga bereaksi dengan membuat aturan hukum mengenai cyber security yang berbahaya baik terhadap perusahaan-perusahaan IT maupun infrastruktur IT negara atau fasilitas militer yang telah dilengkapi dengan sistem komputerisasi. Pemerintah AS menerbitkan undang-undang Cyber Security Act 2010 dan Protecting Cyberspace as National Asset Act 2010. Pemerintah lain seperti India membuat undang-undang National Cyber Security Policy 2010. Pemerintah Cina sejak tahun 2000an awal telah memberlakukan kebijakan sensor internet. Pemerintah Belanda mendirikan lembaga National Cyber Security Centre (NCSC). Pemerintah Jerman bahkan membentuk satuan khusus untuk mengoperasikan Cyber Defense Station yang terdiri dari para mantan hackers.
            Para korporasi besar di bidang IT untuk mengamankan bisnisnya dari serangan para hackers sangat berkepentingan terhadap penegakan undang-undang cyber security ini. Menurut studi yang dilakukan oleh perusahaan komputer Hewlett Packard (HP) serangan hacker setiap tahun merugikan perusahaan IT sebesar 600.000 US$ per tahun. Perusahaan IT pun melakukan berbagai cara untuk merespon fakta adanya serangan hacker ini, misalnya dengan mengerahkan para pekerjanya untuk menjalankan hacking scenarios. Dalam survey lain yang diselenggarakan perusahaan konsultan McKinsey & Company terhadap 1400 pengusaha IT di Amerika Serikat, sekitar 3 % dari mereka mengaku telah melakukan cyber war games untuk bertahan dalam bisnis IT ini.
            Perusahaan IT di negara lain juga melakukan kegiatan yang sama dalam usahanya bersaing dengan hegemoni AS di bisnis IT. Pemerintah China selalu memberi tempat istimewa untuk perusahaan IT nasional seperti Huawei, Baidu, Tencent, dan Aladdin. Pemerintah China juga diduga mensponsori aktifitas hacker yang menyerang perusahaan-perusahaan IT Amerika Serikat. Bisnis IT di Rusia seperti perusahaan Kaspersky Lab, 1C Company, ABBY, Akella, PROMT, dan lain sebagainya juga bersaing dengan perusahaan-perusahaan IT di China dan AS.
            Sehingga tidak berlebihan kiranya untuk menyatakan bahwa cyberwarfare juga ditimbulkan oleh adanya persaingan bisnis antara perusahaan IT di seluruh dunia untuk merebut pangsa pasar IT yang semakin menjanjikan mengingat pengguna komputer dan internet terus berkembang. Berbagai virus dan worms diciptakan untuk saling menyerang server perusahaan IT dan bahkan mencuri data yang sangat rahasia. Negara bahkan turut campur mensponsori persaingan antar industri IT dengan adanya misi penyadapan sebagaimana diungkap oleh Edward Snowden dalam skandal Global Surveillance Disclosure 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar