Senin, 23 Maret 2015

CYBERWARFARE DAN REVOLUSI TEKNOLOGI MILITER

            Salah satu perubahan besar dalam karakter perang di abad ke-21 ini adalah bahwa perang saat ini telah menggunakan teknologi super canggih hasil riset lembaga kemiliteran. Dalam dunia kemiliteran fenomena ini disebut sebagai Revolution in Military Affairs (RMA). RMA biasanya dikaitkan dengan komputerisasi persenjataan, instalasi sistem informasi dan sistem komunikasi, serta penggunan satelit luar angkasa dalam senjata-senjata perang. Contoh perang yang menggunakan teknologi militer super canggih ini adalah Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Iraq sejak tahun 2003. Dalam upaya RMA in Amerika Serikat sangat superior dengan persenjataan lengkap, sistem radar, global positioning system (GPS), pesawat siluman, pesawat pengintai tanpa awak drone, teknologi satelit, sistem komunikasi, kapal induk, hingga tank-tank yang dilengkapi dengan teknologi komputer super canggih.
Teknologi persenjataan AS, dan dibantu oleh bantuan pasukan Sekutu, yang tidak tertandingi dalam invasi di Iraq dan Afghanistan memunculkan fenomena yang disebut sebagai perang asimetris, Asymmetric War. Karena keunggulan mutlak dari AS dan tentara sekutu tersebut, perang berlangsung singkat dan hanya terjadi sedikit konfrontasi terbuka dibandingkan perang-perang sebelumnya di era Perang Dingin atau Perang Dunia Kedua. Perang asimetris di Iraq dan Afghanistan tersebut memunculkan pertanyaan mendasar dalam dunia kemiliteran internasional: negara manakah yang mampu menandingi superioritas teknologi perang AS dan pasukan sekutu? Bagaimana jika seandainya perang nuklir atau perang senjata biokimia terjadi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diarahkan  pada hegemoni AS dalam dunia kemiliteran.
Menurut Michael Sheehan dalam perang yang dilengkapi teknologi canggih memungkinkan operasi militer dilaksanakan dengan cepat, presisi, dan mengurangi dampak liar dari perang, selective destruction, dari segi biaya maupun korban jiwa yang diakibatkan oleh perang. Sehingga karakteristik perang akan berubah secara drastis di masa mendatang. Oleh karena itu pemerintah AS terus melakukan riset-riset baru di bidang teknologi kemiliteran untuk meningkatkan kapabilitasnya.
Secara lebih khusus komputerisasi persenjataan yang dibantu oleh sistem satelit luar angkasa telah memberikan kekuatan bagi militer AS untuk mendapatkan informasi mengenai musuh. Sistem komunikasi satelit dan komputerisasi persenjataan ini juga memungkinkan pasukan perang untuk menetapkan target sasaran secara presisi dan mendetail, sehingga akibat-akibat tak terduga dapat diminimalisir. Dengan demikian kemungkinan perang menelan korban-korban masyarakat sipil dapat dihindari. Musuh yang tidak mampu mengimbangi superioritas persenjataan tersebut tidak akan berkutik dan kemenangan pun dapat diraih lebih cepat.
Negara-negara lain pun berlomba untuk melakukan revolusi teknologi militer ini. Seteru perang dingin AS, yaitu Rusia (bekas Uni Soviet) masih memiliki persenjataan yang mampu mengimbangi AS baik dari jumlah pasukan maupun dari segi teknologi. Sementara itu pada abad ke-21 ini pemerintah China mulai menggagas proyek RMA. Pada tahun 2003 lalu Pemerintah China berhasil meluncurkan satelit Shenzou 5 ke luar angkasa. China bahkan mentargetkan pada tahun 2020  akan memiliki satelit permanen dan mampu melakukan ekspedisi ke Mars dan Bulan. China juga memiliki kapabilitas pengerahan senjata kimia, senjata biologis, senjata nuklir, dan teknologi rudal balistik antar benua.
Selain itu, negara lain di Asia seperti India dan Iran juga berlomba untuk meningkatkan kapabilitas sistem persenjataannya dengan melakukan RMA ini. India terus melakukan proyek RMA di tubuh militernya. Konflik dengan Pakistan pada tahun 1998 melibatkan teknologi persenjataan tinggi dan khususnya penggunaan teknologi satelit. Iran pun tidak tinggal diam dalam merespon revolusi teknologi militer ini. Sejak kepemimpinan Presiden Ahmadinejad Iran gencar memperjuangkan proyek pengembangan fasilitas nuklirnya meskipun ditentang oleh negara-negara Barat, khususnya AS dan Israel.
Revolusi teknologi militer ini juga membawa konsekuensi adanya perang pada fasilitas persenjataan yang dilengkapi dengan sistem komputerisasi dan satelit. Menurut John Arquilla negara-negara superpower di abad ke 21 saat ini tengah mengembangkan program Computer Network Operations (CNO) yang mampu mengakses jaringan sistem informasi militer negara lain. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana proyek penyadapan yang dilakukan oleh NSA dan jaringan UKUSA pada para pengguna internet. Pada tahun 1999-2000, Pemerintah China dituduh mengembangkan proyek CNO untuk menyerang websites negara lain melalui komunitas hackers Falun Gong. Iran memiliki sejumlah kelompok hackers yang diduga dibina oleh negara. Contohnya adalah kelompok Iran Hackers Sabotage (IHS), yang menurut lamannya telah dibentuk sejak tahun 2004. Pada tahun 2004, dalam sebuah konferensi  di Seoul, Mayor Jenderal Song Yeun Keun mengakui bahwa militer Korea Utara telah berhasil memasuki jaringan komputer pemerintah dan militer Korea Selatan serta berhasil mencuri dokumen rahasia.
Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa negara-negara superpower dan negara-negara di Asia pun kini tengah gencar terlibat dalam aktifitas cyberwarfare yang disponsori oleh negara. Perang cyber ini salah satunya disebabkan oleh adanya revolusi di dalam pengembangan teknologi militer. Revolusi teknologi tersebut tertutama berkaitan dengan komputerisasi persenjataan dan instalasi sistem komunikasi-informasi dengan menggunakan satelit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar