Salah satu perubahan besar dalam
karakter perang di abad ke-21 ini adalah bahwa perang saat ini telah
menggunakan teknologi super canggih hasil riset lembaga kemiliteran. Dalam
dunia kemiliteran fenomena ini disebut sebagai Revolution in Military Affairs (RMA). RMA biasanya dikaitkan dengan komputerisasi persenjataan, instalasi sistem
informasi dan sistem komunikasi, serta penggunan satelit luar angkasa dalam
senjata-senjata perang. Contoh perang yang menggunakan teknologi militer super
canggih ini adalah Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dan Iraq sejak tahun
2003. Dalam upaya RMA in Amerika Serikat sangat superior dengan persenjataan
lengkap, sistem radar, global positioning
system (GPS), pesawat siluman, pesawat pengintai tanpa awak drone, teknologi satelit, sistem
komunikasi, kapal induk, hingga tank-tank yang dilengkapi dengan teknologi
komputer super canggih.
Teknologi persenjataan
AS, dan dibantu oleh bantuan pasukan Sekutu, yang tidak tertandingi dalam
invasi di Iraq dan Afghanistan memunculkan fenomena yang disebut sebagai perang
asimetris, Asymmetric War. Karena
keunggulan mutlak dari AS dan tentara sekutu tersebut, perang berlangsung
singkat dan hanya terjadi sedikit konfrontasi terbuka dibandingkan
perang-perang sebelumnya di era Perang Dingin atau Perang Dunia Kedua. Perang asimetris di Iraq dan Afghanistan tersebut memunculkan pertanyaan
mendasar dalam dunia kemiliteran internasional: negara manakah yang mampu
menandingi superioritas teknologi perang AS dan pasukan sekutu? Bagaimana jika
seandainya perang nuklir atau perang senjata biokimia terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut diarahkan
pada hegemoni AS dalam dunia kemiliteran.
Menurut Michael Sheehan
dalam perang yang dilengkapi teknologi canggih memungkinkan operasi militer
dilaksanakan dengan cepat, presisi, dan mengurangi dampak liar dari perang, selective destruction, dari segi biaya
maupun korban jiwa yang diakibatkan oleh perang. Sehingga karakteristik perang akan berubah secara drastis di masa
mendatang. Oleh karena itu pemerintah AS terus melakukan riset-riset baru di bidang
teknologi kemiliteran untuk meningkatkan kapabilitasnya.
Secara lebih khusus
komputerisasi persenjataan yang dibantu oleh sistem satelit luar angkasa telah
memberikan kekuatan bagi militer AS untuk mendapatkan informasi mengenai musuh.
Sistem komunikasi satelit dan komputerisasi persenjataan ini juga memungkinkan
pasukan perang untuk menetapkan target sasaran secara presisi dan mendetail,
sehingga akibat-akibat tak terduga dapat diminimalisir. Dengan demikian kemungkinan perang menelan korban-korban masyarakat sipil dapat
dihindari. Musuh yang tidak mampu mengimbangi superioritas persenjataan
tersebut tidak akan berkutik dan kemenangan pun dapat diraih lebih cepat.
Negara-negara lain pun
berlomba untuk melakukan revolusi teknologi militer ini. Seteru perang dingin
AS, yaitu Rusia (bekas Uni Soviet) masih memiliki persenjataan yang mampu
mengimbangi AS baik dari jumlah pasukan maupun dari segi teknologi. Sementara
itu pada abad ke-21 ini pemerintah China mulai menggagas proyek RMA. Pada tahun
2003 lalu Pemerintah China berhasil meluncurkan satelit Shenzou 5 ke luar
angkasa. China bahkan mentargetkan pada tahun 2020 akan memiliki satelit permanen dan mampu
melakukan ekspedisi ke Mars dan Bulan. China juga memiliki kapabilitas pengerahan senjata kimia, senjata biologis,
senjata nuklir, dan teknologi rudal balistik antar benua.
Selain itu, negara lain
di Asia seperti India dan Iran juga berlomba untuk meningkatkan kapabilitas
sistem persenjataannya dengan melakukan RMA ini. India terus melakukan proyek
RMA di tubuh militernya. Konflik dengan Pakistan pada tahun 1998 melibatkan
teknologi persenjataan tinggi dan khususnya penggunaan teknologi satelit. Iran pun tidak tinggal diam dalam merespon revolusi teknologi militer ini.
Sejak kepemimpinan Presiden Ahmadinejad Iran gencar memperjuangkan proyek
pengembangan fasilitas nuklirnya meskipun ditentang oleh negara-negara Barat,
khususnya AS dan Israel.
Revolusi teknologi
militer ini juga membawa konsekuensi adanya perang pada fasilitas persenjataan
yang dilengkapi dengan sistem komputerisasi dan satelit. Menurut John Arquilla
negara-negara superpower di abad ke 21 saat ini tengah mengembangkan program Computer Network Operations (CNO) yang
mampu mengakses jaringan sistem informasi militer negara lain. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana proyek penyadapan yang
dilakukan oleh NSA dan jaringan UKUSA pada para pengguna internet. Pada tahun
1999-2000, Pemerintah China dituduh mengembangkan proyek CNO untuk menyerang websites negara lain melalui komunitas hackers Falun Gong. Iran memiliki sejumlah kelompok hackers yang
diduga dibina oleh negara. Contohnya adalah kelompok Iran Hackers Sabotage (IHS), yang menurut lamannya telah dibentuk
sejak tahun 2004. Pada tahun 2004, dalam sebuah konferensi
di Seoul, Mayor Jenderal Song Yeun Keun mengakui bahwa militer Korea
Utara telah berhasil memasuki jaringan komputer pemerintah dan militer Korea
Selatan serta berhasil mencuri dokumen rahasia.
Fakta-fakta tersebut
membuktikan bahwa negara-negara superpower dan negara-negara di Asia pun kini
tengah gencar terlibat dalam aktifitas cyberwarfare
yang disponsori oleh negara. Perang cyber
ini salah satunya disebabkan oleh adanya revolusi di dalam pengembangan
teknologi militer. Revolusi teknologi tersebut tertutama berkaitan dengan
komputerisasi persenjataan dan instalasi sistem komunikasi-informasi dengan
menggunakan satelit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar