Selasa, 31 Maret 2015

Komitmen Organisasional

Pengertian Komitmen Organisasional
Menurut Alwi (2001) menyatakan Komitmen Organisasi adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Komitmen adalah bentuk loyal yang lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian, gagasan dan tanggungjawabnya dalam upaya perusahaan mencapai tujuan.
Menurut Nasution (2007) menyatakan Komitmen Organisasi adalah pengikat antara individu dengan suatu organisasi, gagasan atau proyek yang diwujudkan dalam mendedikasikan dirinya bagi pencapaian misi organisasi. Griffin (2005) menyatakan Komitmen Organisasi adalah sikap yang mencerminkan sejauhmana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Porter dalam Panggabean (2004) menyatakan bahwa Komitmen Organisasi adalah kuatnya pengenalan dan keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi tertentu. Karyawan yang komit dengan organisasi mampu menunjukkan peningkatan efektivitas organisasi yang ditunjukkan lewat tingginya pencapaian kinerja kerja, kualitas pekerjaan, dan mengurangi keterlambatan kerja, ketidakhadiran, serta pergantian karyawan (Mathieu dan Zajac, Randall, dalam Juliandi, 2003). Makna komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi yang pada akhirnya tergambar dalam statistik ketidakhadiran serta keluar masuk tenaga kerja/turnover (Mathis dan Jackson, 2001).
Luthan (2006) menyatakan Komitmen organisasi adalah : a) suatu keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dari organisasi tertentu, b) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi, dan c) suatu kepercayaan tertentu, dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujan organisasi tersebut. Dengan kata lain komitmen organisasi adalah sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Sedangkan Porter mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya sebagai bagian organisasi, yang ditandai dengan tiga hal, yaitu : a) Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, b) Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi, dan c) Keinginan mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi menjadi bagian dari organisasi (Mowday, dalam Juliandi, 2003).
Steers dalam Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sebuah perasaan mengidentifikasi (kepercayaan dan penerimaan yang kuat atas tujuan dan nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Pengertian-pengertian di atas menunjukkan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap tentang loyalitas tenaga kerja kepada organisasi mereka, dan sebuah proses terus menerus yang berlanjut dimana partisipan organisasi mengungkapkan perhatian untuk organisasi dan kesuksesan yang berkelanjutan. Manfaat dari komitmen yakni tenaga kerja dapat memberikan suatu kontribusi besar ke organisasi sebab mereka bertindak menuju keberhasilan tujuan organisasi. Para pekerja yang merasa terikat dengan organisasi, merasa senang untuk menjadi anggota organisasi, percaya akan organisasi dan memandang baik tentang organisasi, yang terwujud dalam perilaku mewakili organisasi dalam lingkungan luar organisasi, serta melakukan hal-hal terbaik untuk organisasi (Sutanto dalam Juliandi, 2003).
Menurut Ivancevich, Konopaske dan Matteson (2007) menyatakan Komitmen Organisasi adalah melibatkan tiga sikap : 1) rasa identifikasi dengan tujuan organisasi, 2) perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan 3) perasaan setia terhadap organisasi. Untuk itu dengan adanya komitmen di dalam diri karyawan atau anggota organisasi bermanfaat untuk kepentingan organisasi tempat individu bekerja dan bagi diri individu itu sendiri.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa menurut penulis pengertian komitmen organisasi adalah suatu tingkatan perasaan yang dimiliki oleh seseorang karyawan untuk terikat dengan bekerja sebagai pekerja karena menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi dan bersedia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan tetap mempertahankan keanggotaan organisasi.
Steers (dalam Sopiah, 2008), 3 faktor yang memengaruhi komitmen seseorang dosen / karyawan: 1) Ciri pribadi termasuk masa jabatan dalam organisasi, variasi kebutuhan , dan keinginan yang berbeda dari tiap dosen, 2) ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja, 3) pengalaman kerja seperti keberadaan organisasi dimasa lampau dan cara-cara pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaan tentang organisasi.
Minner (dalam Sopiah, 2008) mengemukakan 4 faktor yang memengaruhi komitmen dosen / karyawan : 1) faktor personal, misal usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan kepribadian. 2) karakteristik pekerjaan. 3) karakteristik struktur. 4) pengalaman kerja.
Menurut Coetzee (2005:57), konsep komitmen yang merupakan komponen penting di dunia kerja pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bernama Selznick pada tahun 1957. Selznick dalam Coetzee (2005:57) berpendapat bahwa komitmen ditumbuhkan oleh nilai-nilai dan merupakan tugas kepemimpinan untuk memberikan dan membentuk nilai-nilai tersebut. Mowday et al. dalam Meyer and Allen (1997:9) memisahkan antara komitmen attitudinal dengan komitmen behavioral, meskipun dijumpai adanya hubungan yang resiprokal antara keduanya. Komitmen attitudinal adalah sikap keterkaitan individu dimana dia mengidentifikasikan dirinya dengan tujuan dan nilai suatu organisasi dan ingin untuk tetap menjadi anggota untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Berbeda dengan komitmen attitudinal, komitmen behavioral membahas tentang proses dimana seseorang individu untuk tetap mengikatkan diri dengan organisasi karena pertimbangan biaya apabila memilih alternatif lain.
Becker dalam Ashkanasy et al. (2000:331) menyatakan bahwa komitmen kepada organisasi terjadi apabila seseorang dengan membuat suatu side-bet, menyamakan kepentingan extraneous dengan konsistensi suatu kegiatan. Jika seseorang mengakumulasikan side-bet (dana sampingan) seperti program pensiun, keistimewaan atas dasar senioritas dan status dalam organisasi, maka mereka akan lebih berkomitmen kepada organisasi. Porter et al. dalam Ashkanasy et al. (2000:332) menyatakan bahwa komitmen terdiri dan: 1. suatu kepercayaan dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi, 2. keinginan untuk mengeluarkan upaya demi organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, dan 3. suatu keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Ketiganya meliputi komitmen afektif maupun kognitif.
Salancik dalam Staw (1991:306-307) mendefinisikan komitmen sebagai bentuk keterikatan individu kepada perilaku kegiatan yang mereka lakukan. Dia mengidentifikasi 4 (empat) karakteristik kegiatan sebagai faktor yang memengaruhi komitmen. Suatu kegiatan yang sangat eksplisit, tidak dapat dibatalkan, dilakukan atas keinginan orang yang bersangkutan dan dipublikasikan akan menghasilkan komitmen yang kuat dan seorang individu dalam melakukan sesuatu kegiatan, keterikatan seseorang bisa dibentuk melalui perilaku mereka.
John et al. (2000) mendefinisikan komitmen sebagai sikap kedekatan hubungan antara seorang dosen atau individu dengan organisasi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti loyalitas, dan keinginan untuk tetap tinggal karena dilibatkannya dosen dalam organisasi. Pozrianski (1997), menyatakan bahwa komitmen organisasi merupakan: 1. sebuah kepercayaan pada penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi atau profesi; 2. sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan organisasi atau profesi; 3. sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. Sementara Porter et al. (1982), mendefinisikan komitmen sebagai: 1. keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota suatu organisasi; 2. kemauan untuk berusaha dengan semangat tinggi (kerja keras) demi organisasi; 3. kepercayaan, penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Robbins and Timothy (2011:111), menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah sejauh mana keberpihakan seorang personal value/dosen terhadap organisasi tertentu dan tujuannya serta berupaya menjaga keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Kreitner and Kinicki (2004:274), menyatakan komitmen organisasi mencerminkan bagaimana seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan terikat dengan tujuan-tujuannya. Komitmen dosen kepada organisasi disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Luthans (2008:147), dosen yang menunjukkan komitmen yang kuat terhadap organisasinya karena:
1.         Dosen memiliki keinginan yang kuat untuk bertahan menjadi anggota organisasi;
2.         Dosen bersedia bekerja keras untuk mendukung organisasi;
3.     Dosen memiliki kepercayaan dan penerimaan yang tinggi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.

Indikator Komitmen Organisasional
Allen and Meyer (1990), membedakan tiga macam komitmen dosen pada organisasi, yaitu komitmen afektif (affective commitment), komitmen kelanjutan (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment) Adapun penjelasan masing-masing komitmen tersebut adalah sebagai berikut;
a.          Komitmen afektif, adalah kecenderungan untuk tetap terlibat dalam jalur aktivitas yang konsisten atau secara luas merupakan hasil dan penghargaan yang diterima atau hukuman yang dihindari. Dengan demikian, komitmen afektif terkait dengan adanya keterikatan emosional seseorang pada suatu organisasi, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi.
b.         Komitmen kelanjutan, adalah kelanjutan untuk ikut serta dalam aktivitas yang konsisten agar kelembagaan tidak rugi atas biaya yang dikeluarkan oleh kelembagaan dan diterima individu. Dengan demikian, komitmen kelanjutan terkait dengan pertimbangan kerugian jika seseorang keluar dan organisasi. Hal ini mungkin karena kebilangan senioritas atas promosi atau benefit.
c.          Komitmen normatif, adalah kepercayaan pada penerimaan tujuan dan nilai organisasi atau kewajiban moral untuk tetap pada kelembagaan karena penghargaan sosial dan organisasi. Dengan demikian, komitmen normatif terkait dengan adanya perasaan wajib pada diri dosen untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal yang benar harus dilakukan.
Robbins and Timothy (2011:111), menyatakan bahwa komitmen kelanjutan bukan merupakan komitmen sesungguhnya. Dosen yang memiliki komitmen kelanjutan yang tinggi cenderung bertahan dalam kelembagaan karena tidak adanya pekerjaan sebaik pekerjaan saat ini. Dosen dengan komitmen kelanjutan yang tinggi cenderung bekerja rendah dan tingkat kehadiran yang tinggi. Hal ini berbeda dengan komitmen afektif. Dosen yang memiliki komitmen afektif yang tinggi memiliki kinerja dan tingkat kehadiran yang tinggi. Jahangir et al. (2006) menyatakan bahwa komitmen afektif berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen.

Meningkatkan komitmen Organisasi.
Luthans (2008:149) menyatakan ada 5 (lima) faktor yang dapat meningkatkan komitmen dosen pada organisasi, yaitu:
1. Kelembagaan komitmen terhadap nilai hakiki dosen, yakni dengan menjalankan kebijakan kelembagaan dengan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik, dan menjalankan apa yang telah dituliskan.
2. Kelembagaan mengklarifikasi dan mengkomunikasikan misinya. Kelembagaan berkewajiban mengkomunikasikan misi dan ideologinya kepada dosen sehingga dapat menjadi arah dan tujuan bersama dan menjadi tradisi yang baik bagi dosen.
3.  Kelembagaan menjamin tersedianya keadilan bagi dosen. Kelembagaan selalu harus menyediakan komunikasi dua arah yang baik terhadap dosen.
4.  Kelembagaan menciptakan rasa kebersamaan diantara dosen. Kebersamaan akan menciptakan nilai diantara dosen yakni rasa berbagi suka dan duka.
5.  Kelembagaan mendukung pengembangan dosen melalui pemberdayaan, promosi, membeii rasa aman bekerja, dan menyediakan kegiatan-kegiatan yang menantang dosen untuk mengembangkan pengetahuannya.

ADMINISTRASI

Administrasi adalah proses kegiatan yang bertujuan untuk memberikan pengarahan bimbingan dan penyatu paduan dari daya upaya mansia yang terorganisir ke arah tercapainya tujuan tertentu. Dengan secara umum merupakan usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan penetapan tujuan dan penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan untuk mencapai tujuan organisasi.
            Namun dalam penyelenggaraan administrasi harus memenuhi beberapa asas-asas :
1.        Asas Tanggung Jawab
Semua penyelenggaraan kegiatan harus menunjukkan siapa yang bertanggung jawab, hal ini dapat dilihat pada Koperasi dan Tajuk Tanda Tangan tulisan dinas.
2.        Asas Keamanan
Mempunyai tingkat keamanan tertentu yang dinyatakan dengan klasifikasi bahasa. (Biasa, Rahasia dan Sangat Rahasia)
3.        Asas Saluran Administrasi
Pelaksanaan hendaknya mengikuti saluran administrasi yang telah di tetapkan, sehingga seluruh proses dapat diselesaikan lebih cepat dengan memperhatikan pengawasan dan pengendalian, serta hasilnya dapat dipertanggung jawabkan.
4.        Asas Kesinambungan
Seluruh kegiatan pada dasarnya merupakan kegiatan/proses yang berkesinambungan dan saling berhubungan erat, untuk itu dituntut adanya kerapian di sertai penataan yang tertib dan teratur sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
5.        Asas Kecepatan
Guna mendukung kelancaran tugas satuan, semua kegiatan harus dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penegasan tentang tingkat kecepatan penyelesaian dan penyampaian dinyatakan dengan Derajat.


TEORI SOSIOLOGI SASTRA MARXIS

Karl Marx berpandangan bahwa sastra sebagai bagian dari sebuah institusi sosial yang penting dimana memiliki kesamaan dengan agama, politik, ilmu pengetahuan, dan pendidikan yang menjadi bagian integral kehidupan sosial sehingga sastra berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi perkembangan sosial ekonomi masyarakat.Sastra telah menjadi bagian penting dari suatu sistem produksi sosial suatu masyarakat, karena itu sastra telah menjadi bagian struktur relasi sosial yang perkembangannya bersifat dinamik.Sastra selalu terlibat dalam perubahan-perubahan sosial dan konflik-konflik sosial.Marx juga menegaskan besarnya pengaruh sastra terhadap dinamika sosial (Anwar, 2010:42).
Marx (dalam Kurniawan, 2012: 40) mengembangkan teori sosial sastranya dengan menyatakan bahwa kegiatan manusia yang paling penting adalah kegiatan ekonomi (produksi unsur-unsur materi). Hal ini menunjukkan kerangka kerja sosiogi yang bersifat material, yaitu ekonomi menjadi faktor determinasi kehidupan manusia dengan struktur sosial masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang melakukan aktivitas ekonomi atau produksi dari suatu masyarakat.Kerja adalah wujud dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang merupakan konkretisasi aktivitas ekonomi. Dalam pandangan Marx, kerja itu merupakan sifat dasar manusia karena aktivitas kerja yang dilakukan membedakannya dengan makhluk hidup lain. Kerja bagi manusia akan mewujudkan suatu hal dalam realitas yang sebelumnya ada dalam imajinasi. Perwujudan imajinasi menjadi realitas disebut dengan objektivasi. Hal ini sesuai dengan pendapat George Ritzer & Douglas J. Goodman (2011:53) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerja, yaitu:
1.      Objektivasi tujuan manusia
2.      Pembentukan suatu relasi yang esensial antara kebutuhan manusia dengan objek-objek material kebutuhan manusia
3.      Transformasi sifat dasar manusia
 Marx tidak membatasi kerja pada hal yang berhubungan dengan  aktivitas ekonomi saja, tetapi memiliki pengertian yang luas. Menurutnya, kerja itu mencakup tindakan-tindakan produktif manusia dalam mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan manusia itu sendiri. Aktivitas ekonomi-material-produksi merupakan dasar dari kehidupan manusia dan  kehidupan ini menjadikan manusia memproduksi pikiran dan perasaannya. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi menjadi faktor determinasi produksi pikiran dan kesadaran manusia.
Marx meyakini bahwa situasi dan kondisi sosial manusia sangat dipengaruhi oleh aspek material-produksi berdasarkan penjelasan di atas.Hal tersebut membuat Marx membagi masyarakat dalam dua struktur: infrastruktur (basis ekonomi) dan superstruktur (produk pikiran dan perasaan). Infrastruktur merupakan struktur yang menjadi arsitek (determinasi) yang merancang dan menentukan kehidupan manusia, terutama pikiran dan perasaannya. Sedangkan superstruktur merupakan kategori sisa atau hasil yang diciptakan oleh infrastruktur yang terdiri dari lembaga-lembaga sosial dan ideologi yang berkembang di masyarakat (Abercombie, 2011: 38).
Faruk (2010: 7) menyatakan bahwa hubungan antara infrastruktur dan superstruktur bersifat determinasi dimana aktivitas-aktivitas produksi (infrastruktur) akan selalu membawa perubahan pada superstrukturnya, sehingga struktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya struktur lembaganya, moralitasnya, agamanya, termasuk juga kesusastraaan keberadaannya ditentukan oleh kondisi-kondisi produksi kehidupan masyarakatnya.
Dengan sistem produksi (infrastruktur) yang terus bergerak dinamis dan terus mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, maka sistem produksi tidak hanya mempengaruhi perubahan hubungan sosial, tetapi juga mempengaruhi perubahan dinamika kesadaran masyarakat, ide-ide, dan konsep-konsep intelektualitasnya (Anwar, 2010: 26).
Marx mengidentifikasi struktur sosial masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas atas dan kelas bawah yang faktor utamanya didasarkan pada penguasaan alat-alat produksi pada zamannya.Kelas atas adalah kelas yang memiliki sarana produksi, sedangkan kelas bawah adalah mereka (kelas) yang tidak memiliki alat-alat produksi. Relasi kelas ini menciptakan kelas dominan dengan subordinat, majikan dengan budak, tuan tanah dengan pelayan, dan borjuis dengan proletar. Relasi hubungan ini didasarkan pada faktor determinasi ekonomi. (Kurniwan, 2012: 42).
Di Indonesia, meskipun menolak sistem kelas namun pada kenyataannya sering ada pertentangan antara elit dan golongan bawah. Jika orang lain menggunakan istilah kelas, Indonesia menggunakan paham pusat-daerah,wong gedhe-wong cilik, elit-rakyat kecil dan seterusnya. Kehadiran kelas atau lebih tepatnya strata sosial (elit-rakyat) sering bersinggungan di Indonesia.Persinggungan kepentingan yang melebar ke masalah kekuasaan itu juga sering menarik perhatian pengarang.Itulah sebabnya, karya sastra dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan sosial dan kekuasaan. Karya sastra akan menggambarkan “jarak” perbedaan strata sosial dan kekuasaan (Endraswara, 2004:82).
Abercrombie (2011: 332) menjelaskan bahwa menurut Marx sejarah manusia adalah rangkaian kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antarkelas sosial berdasarkan struktur sosial masyarakat pada dua kelas sosial yang ditentukan oleh determinasi ekonomi. “Motor sejarah” adalah sebutan Marx bagi perjuangan kelas karena dua kelas sosial yang berbeda dalam sejarahnya akan selalu terlibat konflik atau kontradiksi karena perbedaan kelas ekonomi.
Konsep lain yang berhubungan dengan sosiologi sastra Marxis adalah ideologi.  Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran, keyakinan, ide, dan gagasan yang dipercaya masyarakat yang menjadikan kontradiksi kelas tidak tampak atau sebaliknya, kontradiksi antarkelas itu tampak nyata.
Marx (dalam Jones, 2009: 87) mengidentifikasi dua bentuk ideologi.Ideologi yang pertama adalah ideologi kesadaran kelas.Ideologi tersebut merupakan ideologi yang dimiliki suatu kelas sosial, misalnya kelas subordinat dalam memandang realitas sebagai sesuatu yang semu atau salah sehingga menimbulkan kesadaran pada dirinya tentang eksistensinya sebagai suatu kelas.Ideologi yang kedua adalah ideologi kesadaran semu. Ideologi ini merupakan kesadaran yang tidak akan muncul bebas dari kondisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa ideologi sebagai suatu kesadaran kelas akan dibenturkan dengan keadaan ekonomi yang ada. Misalnya, kelas subordinat memiliki kesadaran tentang eksploitasi yang mereka rasakan karena keberadaan kelas dominan. Meskipun mereka sadar tetapi mereka hanya bisa pasrah dan menerima karena kelas dominan tentu lebih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi daripada kelas subordinat. Sehingga ideologi  kesadaran yang dimiliki kelas subordinat hanya sebatas wacana dan tidak sampai pada gerakan perlawanan.
Kedua ideologi inilah yang menjadikan kelas subordinat memahami kedudukannya sebagai kelas yang tereksploitasi, sehingga mereka pun memulai perjuangan politik yang dirancang untuk menggantikan tatanan sosial yang lama dengan yang baru, yang lebih sesuai dengan tatanan ekonomi yang baru (Jones, 2009: 92).
Terdapat 6 definisi ideologi menurut Eagleton (dalam Sparringa,1997:10). Pertama, ideologi adalah proses material yang berhubungan dengan produksi ide-ide, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Kedua, ideologi adalah ide atau kepercayaan yang melambangkan keadaan dan pengalaman hidup dalam suatu kelompok sosial atau suatu kelas tertentu.Ketiga, ideologi dipandang sebagai arena diskursus, tempat berbagai kekuatan sosial bertarung.Keempat, makna ideologi yang menitikberatkan promosi dan legitimasi kepentingan sektoral, tapi dibatasi kekuatan sosial yang dominan.Kelima, ideologi melambangkan ide-ide atau gagasan-gagasan dan kepercayaan-kepercayaan yang membantu mengabsahkan kepentingan  dari sebuah kelompok atau kelas oleh distorsi dan disimulasi. Dan yang terakhir yaitu keenam, ideologi menitikberatkan suatu kepercayaan, yang salah maupun palsu yang berasal dari struktur material masyarakat keseluruhan tanpa melihat kepercayaan tersebut berkembang dari kelas yang dominan.
Definisi pertama dan kedua dari penjelasan di atas dapat digunakan untuk membantu mengupas ideologi pengarang dalam karya sastra. Hal ini terjadi karena dalam penciptaan karya sastra, pengarang tentu mengungkapkan pemikirannya yang dapat ditangkap oleh pembaca.
Teori lain yang berkaitan dengan pemahaman tentang ideologi diungkapkan oleh Althusser (dalam Barker, 2004:59) yang  mengungkapkan pandangannya bahwa  ideologi terlibat dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan relasi mereka terhadap kekuasaan. Terkait dengan pemikiran tersebut, Althusser juga mengungkapkan bahwa ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu (sebuah kenyataan).
Selain itu, Althusser memiliki pandangan bahwa ideologi tidak hanya memiliki eksistensi spiritual dan eksistensi material.Eksistensi spiritual yang dimaksud adalah hubungan imajiner antara individu dengan kondisi eksistensi nyatanya. Sedangkan yang dimaksud dengan eksistensi material adalah kepercayaan seseorang atau ideologi seseorang terhadap hal-hal tertentu akan diturunkan dalam bentuk-bentuk material yang secara natural akan diikuti oleh orang tersebut, misalnya jika kita menemui ketidakadilan dalam hukum atau bidang lainnya, kita dapat menyatakan protes bahkan bisa mewujudkannya dengan berdemonstrasi (Sumber:http:ressay.wordpress.com/2008/08/14/sekilas-tentang-louis-althusser )
Pandangan-pandangan tersebut juga dapat dijadikan pijakan untuk mengungkap ideologi pengarang.Dalam menciptakan karyanya, pengarang tentu memiliki pandangan atau pemikiran dengan berdasarkan pengalaman hidupnya.



Senin, 30 Maret 2015

Hubungan Kepuasan dengan Loyalitas Konsumen

Kepuasan merupakan suatu dorongan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan (Swastha, 2002). Konsumen akan setia atau loyal terhadap suatu merek bila konsumen mendapatkan kepuasan dari merek tersebut. Untuk meningkatkan kepuasan konsumen, perusahaan tersebut perlu mengatur strategi pemasaran agar konsumen tertarik terhadap produk-produk yang ditawarkan. Apabila produk tersebut memberi kepuasan bagi konsumen, maka konsumen akan tetap setia menggunakan merek tersebut dan berusaha untuk membatasi pembelian produk lain. Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maylina (2003), dimana satisfaction mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap kesetiaan terhadap merek pada konsumen.
Konsumen akan loyal terhadap suatu merek bila ia mendapatkan kepuasan dari merek tersebut. Karena itu jika konsumen mencoba beberapa macam merek yang kemudian dievaluasi apakah merek tersebut telah melampaui kriteria kepuasan mereka atau tidak. Bila setelah mencoba dan kemudian responnya baik maka berarti konsumen tersebut puas sehingga ia akan memutuskan membeli kembali merek tersebut secara konsisten sepanjang waktu. Ini berarti telah tercipta kesetiaan konsumen terhadap merek.
Sementara itu, kepuasan seorang pelanggan belum tentu menunjukkan loyalitas pelanggan tersebut terhadap merek produk/jasa tertentu. Ada suatu kondisi di mana pelanggan mengalami kepuasan yang tinggi, tapi dia sendiri tidak loyal terhadap produk atau jasa yang dikonsumsinya. Hasan (2009:83) menggambarkan pola hubungan antara kepuasan dengan loyalitas pelanggan tersebut dalam Tabel.
Tabel  Hubungan antara Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan
Kepuasan
Pelanggan
Loyalitas Pelanggan
Rendah
Loyalitas Pelanggan
Tinggi
Rendah
Failures :
Tidak puas dan tidak loyal
Forced Loyalty :
Tidak puas, namun terikat pada program promosi loyalitas perusahaan
Tinggi
Defectors :
Puas tapi tidak loyal
Successes :
Puas, loyal, dan paling mungkin memberikan word-of-mouth positif
Sumber: Hasan (2009)
Setiap pelaku usaha sudah tentu menginginkan kondisi hubungan yang successes, dimana tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggannya tinggi. Karena pada posisi ini, perusahaan akan memperoleh banyak manfaat seperti disamping merangsang pelanggan untuk bercerita hal-hal positif kepada pelanggan lain (word of mouth communication), juga dapat mengurangi biaya pemasaran, menarik pelanggan baru, merespon ancaman pesaing, serta memperoleh nilai kumulatif bisnis berkelanjutan (Aaker, 1995, dalam Hasan, 2009: 79).
Untuk sampai pada sasaran tersebut, maka setiap pelaku usaha harus selalu dapat memuaskan pelanggannya melalui peningkatan kualitas layanannya, yang terukur melalui dimensi-dimensi reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (mampu memberikan jaminan), empathy (empati), dan tangibles (bukti langsung secara fisik).


Loyalitas Pelanggan

            Harapan para pelaku usaha tidak berhenti pada suatu titik di mana para pelanggannya mengalami kepuasan. Mereka akan selalu berharap bahwa pelanggan yang terpuaskan itu menjadi loyal terhadap produk yang dikonsumsinya itu. Menurut Olorunniwo, et. al. (2006); Michel, et. al., (2000); Kandampully, et. al, (2000); Kartajaya (2004) yang dikutip oleh Unud (2006 : 22), bahwa banyak peneliti sependapat bahwa pelanggan yang terpuaskan cenderung untuk loyal terhadap penyedia barang atau jasa. Dengan kata lain, bahwa loyalitas umumnya didahului oleh kepuasan yang dialami oleh pelanggan.
            Ada beberapa indikasi perilaku pelanggan yang menunjukkan loyal tidaknya pelanggan tersebut kepada penyedia barang/jasa. Pertama, pelanggan akan cenderung melakukan pembelian/pengkonsumsian ulang terhadap barang atau jasa tersebut. Kedua, pelanggan yang terpuaskan akan terdorong untuk mengkomunikasikan pengalamannya kepada pelanggan lainnya (word-of-mouth communication/komunikasi dari mulut ke mulut). Wujud komunikasi dari mulut ke mulut ini dapat berupa pengungkapan hal-hal yang baik tentang penyedia barang atau jasa, dapat berupa rekomendasi kepada calon pelanggan lain, dan dapat berupa dorongan untuk melakukan bisnis dengan penyedia barang atau jasa. tersebut. (Zeithaml et. al., 2003 dalam Astawa, 2008: 23). Ketiga, pelanggan yang puas cenderung untuk mempertimbangkan penyedia barang atau jasa yang mampu memuaskan sebagai pertimbangan pertama jika ingin membeli produk atau jasa yang sama. (Kotler dan Keller, 2009: 179).
Oliver (loyality) mendefinisikan loyalitas sebagai komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli atau mendukung kembali produk atau jasa yang disukai di masa depan meski pengaruh situasi dan usaha pemasaran berpotensi menyebabkan konsumen beralih (Kotler dan Keller 2009:138).
Menurut Sheth & Mittal (2004) dalam Tjiptono (2006) loyalitas adalah komitmen pelanggan terhadap suatu merek, toko, atau pemasok, berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisiten. Sementara itu, Bendapudi & Berry (1997) loyalitas pelanggan dalam konteks pemasaran jasa didefinisikan sebagai respon yang terkait erat dengan ikrar atau janji untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya tercermin dalam pembelian bekelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar dedikasi maupun kendala pragmatis ( dalam Tjiptono, 2006:387)
 Jones and Sanser yang dikutip (Javalgi, 1997:165) berkeyakinan bahwa tumpuan perusahaan untuk tetap mampu bertahan hidup adalah memiliki pelanggan yang loyal. Untuk itulah perusahaan dituntut untuk mampu memupuk keunggulan kompetitifnya masing-masing melalui upaya-upaya yang kreatif, inovatif dan efisien sehinggan menjadi pilihan dari banyak peanggan yang pada gilirannya nati diharapkan menjadi pelanggan yang loyal.
 Memasuki era yang baru, orientasi perusahaan masa depan mengalami pergeseran dari pendekatan konvensional kearah pendekatan kontemporer (Bhote, 1996). Pendekatan konvensional menekankan pada kepuasan pelanggan, reduksi biaya, pangsa pasar, dan riset pasar. Sedangkan pendekatan kontemporer berfokus pada loyalitas pelanggan, retensi pelanggan, zero defections dan lifelong customers.
Smith and Wheeler (2002:43) mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan tidak bisa tercipta begitu saja, tetapi harus dirancang oleh perusahaan. Adapun tahapan-tahapan perancangan loyalitas adalah sebagai berikut:
1.      Define customer value
Mendefinisikan nilai pelanggan sasaran dan menentukan nilai pelanggan mana yang menjadi pendorong keputusan pembelian dan penciptaan loyalitas dan ciptakan diferensiasi brand promise.
2.      Design the branded customer experience
Mengembangkan pemahaman customer experience, merancang perilaku karyawan untuk merealisasikan brand promise, dan perubahan strategi secara keseluruhan untuk merealisasikan pengalaman-pengalaman pelanggan baru.
3.      Equip people and delivery consistenly
Mempersiapkan pemimpin untuk menjalankan dan memberikan pengalaman kepada pelanggan.Melengkapi pengetahuan dan keahlian karyawan untuk mengembangkan dan memberikan pengalaman kepada pelanggan dalam setiap interaksi yang dilakukan pelanggan terhadap perusahaan.Dan memperkuat kinerja perusahaan melalui pengukuran dan tindakan kepemimpinan.
4.      Sustain and enhance performance.
Menggunakan respon timbal balik pelanggan dan karyawan untuk memelihara pelanggan secara berkesinambungan dan mempertahankan pengalaman pelanggan, membentuk kerjasama antar system HRD dengan proses bisnis yang terlibat langsung dalam memberikan dan menciptakan pengalaman pelanggan, terus menerus mengembangkan dan mengkomunikasikan hasil untuk menanamkan branded customer experience yang dijalankan perusahaan.
Tingkatan loyalitas berdasarkan sikap dan tingkah laku menurut Seyhmus Baloglu (2002) yaitu:
1.      True loyality (pelanggan dengan loyalitas tinggi)
Pelanggan dengan loyalitas tinggi dikarakteristikan dengan sikap yang kuat dan menjadi langganan berulang yang tinggi dan kecil kemungkinan pelanggan yang berulang pada merek tersebut untuk diserang oleh penawaran yang kompetitif.
2.      Laten loyalitas
Ditunjukkan dengan tingkat langganan yang rendah, meskipun mereka memegang sikap komitmen yang kuat pada perusahaan. Langganan yang rendah mungkin terjadi karena mereka tidak mempunyai sumber yang cukup untuk meningkatkan berlangganan karena harga dari perusahaan, hal yang mudah dicapai, atau distribusi strategi yang mungkin tidak mendorong mereka untuk menjadi pembeli yang berulang.
3.      Pelanggan dengan loyalitas palsu.
Pelanggan dengan loyalitas palsu atau buatan membuat frekuensi pembelian, meskipun mereka tidak secara emosional tertarik pada suatu merek. Mereka belum tentu menyukai merek itu tetapi mereka melanjutkannya dengan melakukan pembelian. Tingkat langganan yang tinggi dari loyalitas pelanggan yang palsu dapat dijelaskan dengan faktor-faktor seperti kebiasaan membeli, intensif keuangan, alat yang menyenangkan hidup, dan kuarangnya alternate, sama baiknya dengan factor yang menghubungkan dengan situasi pelanggan secara individu.
4.      Kelompok dengan loyalitas rendah ditunjukkan dengan lemah atau rendahnya tingkat dari ketertarikan dan langganan berulang. Kelompok loyalitas palsu dan loyalitas rendah mudah hilang dan mudah kena serangan dari kompetitor.
Aacker (1996) dalam Maylina (2004) menyatakan bahwa loyalitas merek    (brand loyality) adalah sebagai suatu faktor yang penting dalam menetapkan nilai dari suatu merek. Nilai penting dari suatu merek tersebut dapat meliputi kualitas, bentuk serta kegunaan dari barang dan jasa yang ditawarkan lebih dari yang ditawarkan para pesaing. Lebih dari itu Aacker berpendapat bahwa kesetiaan pelanggan terhadap merek memiliki nilai strategic bagi perusahaan, antara lain mengurangi biaya pemasaran, keuntungan dalam trade leverage, menarik minat konsumen, dapat memebrikan keuntungan waktu untuk merespon terhadap pesaing.
Loyal tidaknya konsumen terhadap suatu merek sangat bergantung pada kemampuan manajemen perusahaan dalam mengelola faktor-faktor yang mempengaruhi kesetiaan merek. Strategi yang berlaku sekarang merupakan usaha perusahaan dalam persaingan dengan menggunakan kesempatan atau peluang pasar melalui usaha membina dan meningkatkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesetiaan konsumen terhadap merek, antara lain melalui satisfaction, habitual behavior, commitment, dan liking of the brand sehingga peran perusahaan dipasar dapat ditingkatkan.


Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Menurut Kotler (1994) dalam Tjiptono, dkk (2008) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur kepuasan yaitu:
1.      Sistem keluhan dan saran
Organisasi yang berpusat pada pelanggan (customer centered) memberikan kesempatan yang luas bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran dan keluhan, misalnya dengan menyediakan kotak saran, menyediakan kartu komentar, dan lain sebagainya. Informasi ini dapat memberikan ide-ide dan masukan kepada perusahaan dan memungkinkan untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah.
2.      Survei kepuasan pelanggan
Metode ini dapat dilakukan melalui pos, telepon maupun wawancara pribadi. Melalui survey perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda/signal positi bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Pengukuran pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan melalu berbagai cara, diantaranya:
a.       Directly Reportered Satisfaction
Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan seperti: ”ungkapkan seberapa puas saudara terhadap pelayanan PT.A pada skala berikut:sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas sangat puas.”
b.      Derived Dissatisfaction
Pertanyaan yang diajukan menyangkut 2 hal utama, yaitu besarnya  harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.
c.       Problem Analysis
Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan  dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan.
d.      Importance-Performance Analysis
Responden diminta untuk merangking berbagai atribut dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap atribut dan juga merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam tiap atribut itu.
3.      Ghost shopping
Metode ini dilakukan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan sebagai pelanggan atau pembeli potensial perusahaan pesaing, lalu menyampaikan temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan pesaing. Selain itu ghost shopper juga dapat mengamati cara penanganan keluhan.
4.      Lost customer analysis     
Perusahaan menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli dan beralih pemasok. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini bermanfaat untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.