Minggu, 10 Mei 2015

Outsourcing



Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan sebagai pengguna jasa dengan perusahaan sebagai penyedia jasa. Outsourcing adalah suatu proses dimana sumber-sumber daya dibeli dari orang lain melalui kontrak jangka panjang sebagai ganti yang dulunya dibuat sendiri oleh perusahaan). Pengertian di atas Iebih menekankan pada istilah yang berkaitan dengan proses "Alih Daya" dari suatu proses bisnis melalui sebuah perj anj ian/kontrak.
Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri tersirat dalam ketentuan pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 ini, yang isinya menyatakan bahwa : "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis". Hal ini berarti bahwa di dalam outsourcing terjadi penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, sehingga terdapat dua perusahaan yaitu perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima openyerahan sebagaian pekerjaan. Di satu sisi menyerahkan pekerjaan di sisi yang lain penyerahan pekerjaan didasarkan atas perjanjian pemborongan. Outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Mengenai perjanjian pemborongan, Pasal 1601 b KUH Perdata, menentukan sebagai berikut: "Perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan".
Outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekeijanya pun menjadi berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekeija akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedianjasa tenaga kerja.
Perjanjian outsourcing dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Ketentuan outsourcing di dalam UU No. 13 Tahun 2003 2003 diatur dalam Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa :
(1)        Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis;
(2)        Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.      dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.       merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(3)    Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)    Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)    Perubahan dan/atau penambahan syarat -syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)    Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7)    Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)    Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/ buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9)    Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Selanjutnya 66 UU No. 13 Tahun 2002 menentukan:
1.     Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
2.     Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.         Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b.         Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c.         Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh;
d.        Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3.        Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerj aan.
4.        Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan lain mengenai outsourcing diatur di dalam Kitab Undang­Undang Hukum Perdata buku ketiga bab 7A bagian keenam tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu:
1.        Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan di mana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
2.        Dalam perjanjian pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pemborong dengan perusahaan yang memborongkan sebab dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur "upah" sebagai salah satu syarat adanya hubungan kerja. Jadi yang ada harga borongan.
Di atas telah disinggung bahwa outsourcing ada kaitannya dengan perjanjian pemborongan, maka hubungan hukum yang terjadi adalah:
1.     Hubungan antara pemborong dengan yang memborongkan adalah hubungan perdata mumi sehingga jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri.
2.     Perjanjian/perikatan yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan yang memborongkan pekerjaan tunduk pada KUH Perdata Pasal 1338 jo Pasal 1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
3.        Dalam hal perjanjian kerja dilakukan secara tertulis maka perjanjian kerja itu harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
1.         Harus disebutkan macam pekerjaan yang diperjanjikan;
2.         Waktu berlakunya perjanjian kerja;
3.         Upah tenaga kerja yang berupa uang, diberikan tiap bulan;
4.         Saat istirahat bagi tenaga kerja. yang dilakukan di dalam dan kalau perlu diluar negeri serta selama istirahat itu;
5.         Bagian upah lainya yang diperjanjikan dalam isi perjanjian menjadi hak tenaga kerja
a.         Berdasarkan janczka waktunya_ perjanjian kerja terdiri dari Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu. PKWT diatur
Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Jo Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.100/MEN/VI/2004. Menurut Payaman Simanjuntak, PKWT adalah perjanjiankerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang relatif pendek yang jangka.
Waktunya paling lama dua tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga tahun lamanya. PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, jadi tidak dapat dilakukan secara bebas. PKWT harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dan tidak boleh dipersyaratkan adanya masa percobaan (probation), PKWT juga tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifattetap. Apabila syarat-syarat PKWT tidak terpenuhi maka secara hukum otomatis menjadi PKWTT. Sedangkan PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap, jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undangundang maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa percobaan (maksimal tiga bulan).
b.        Berdasarkan statusnya, perjanjian kerja terdiri dari perjanjian kerja Perseorangan (dengan masa percobaan tiga bulan), perjanjian kerja harian lepas, perjanjian kerja borongan, dan perjanjian kerja tetap;
c.         Berdasarkan pelaksanaanya, perjanjian kerja terdiri dan pekerjaan yang di lakukan sendiri oleh perusahaan dan pekerjaan yang di serahkan pada perusahaan lain (outsourcing).
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa :
a.    pemborong hanya untuk melakukan pekerjaan ;
b.    pemborong juga akan menyediakan bahan-bahannya.
4.        Dalam hal pemborong juga harus menyediakan bahan-bahannya dan hasil pekerjaanya kemudian karena apapun musnah sebelum diserahkan maka kerugian tersebut dipikul oleh pemborong kecuali yang memborongkan lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.
5.        Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaan tersebut musnah maka pemborong hanya bertanggungjawab atas kemusnahan tersebut sepanjang hal itu terjadi karena kesalahan pemborong.
6.        Jika hasil pekerjaan diluar kelalaian dari pihak pemborong, musnah sebelum penyerahan dilakukan dan tanpa adanya kelalaian dari pihak yang memborongkan untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan tersebut maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya ada cacatnya.
7.        Jika pekerjaan yang diborongkan dilakukan secara potongan atau ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa secara sebagian demi sebagian.
8.        Perjanjian pemborongan pekerjaan berakhir karena meninggalnya pemborong.
9.        Jika pemborong meninggal dunia maka yang memborongkan pekerjaan wajib membayar kepada ahli waris pemborong hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan bangunan yang telah diselesaikan menurut perbandingan dengan harga yang telah diperjanjikan asal hasil pekerjaan itu atau bahan bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pihak yang memborongkan.
10.    Pemborong bertanggungjawab atas tindakan pekerja yang diperkerjakan.
11.    Pekerja yang memegang barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu berhak menahan barang tersebut sampai biaya dan upah dibayar seluruhnya, kecuali telah dikeluarkan tanggungan secukupnya.

Kualitas Produk



Selnes (1993) mendefinisikan konsep produk yang berkaitan dengan reputasi produk sebagai persepsi dari kualitas barang/jasa yang berhubungan dengan nama produknya. Kualitas produk adalah segala sesuatu yang memiliki nilai di pasar sasaran (target market) dimana kemampuannya memberikan manfaat dan kepuasan, termasuk hal ini adalah benda, jasa, organisasi, tempat, orang dan ide.
Garvin (1998) dalam Zhang, 2001 menyatakan dalam dunia nyata merangkum berbagai perpektif kualitas yang berbeda-beda kedalam 5 kategori:
1.             Perspektif transeden : Dalam perspektif ini kualitas dipandang sebagai sebuah konsep yang tidak dapat diartikan secara persis namun kualitas merupakan konsep yang dikenali secara universal tentang keunggulan (Innate excellent).
2.             Perspektif kualitas berdasarkan produk (Product based) dalam perspektif ini kualitas dipandang sebagai derajat atau kuantitas atribut yang dimiliki oleh suatu produk.
3.             Perspektif berbasis pemakai produk (User based) dalam perspektif ini kualitas dipandang sebagai derajat pemenuhan keinginan pelanggan oleh suatu produk.
4.             Perpektif kualitas berdasarkan manufaktur (Manufacturing based) dalam perspektif ini kualitas dipandang sebagai derajat pemenuhan spesifikasi yang disyaratkan atau diminta.
5.             Perspektif kualitas berdasarkan nilai (Value based), dalam perpespektif ini kualitas dipandang sebagai keunggulan produk yang dapat diterima pada harga yang wajar (Affordable).
Lebih jauh lagi Reeves dan Bednar (1994) mengemukakan bahwa ketika produk sudah berada di pasar maka seharusnya kualitas produk diukur dan dievaluasi dari kacamata konsumen, bukan kacamata manajemen atau perusahaan. Jadi dapat dikatakan bahwa proses kualitas akan selalu diawali dan kembali lagi pada perspektif kualitas berdasarkan pemakai.
Selanjutnya berdasarkan 5 kategori yang dikemukakan oleh Garvin (dalam Zhang 2001), maka ukuran dimensi kualitas produk yang dapat dinilai berdasarkan kacamata konsumen adalah sebagai berikut :
1.             Penampilan, menunjukkan sifat operasidasar pembuatan suatu produk.
2.             Keistimewaaan membawa manfaat dalam meningkatkan penampilan dan kualitas yang tinggi.
3.             Kepercayaan mencerminkan nilai teknis suatu produk.
4.             Kesesuaian, ukuran dari kekonsistenan suatu produk yang sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya.
5.             Daya tahan mencerminkan nilai ekonomis atau umur dari produk secara fisik.
6.             Kemudahan dalam perbaikan, kemampuan perbaikan atau kecepatan perbaikan suatu produk.
7.             Keindahan mencerminkan bagaimana suatu produk dilihat, disentuh didengar dan dirasakan.
8.             Kualitas yang bermanfaat mencerminkan nilai yang sama seperti dimensi keindahan.