Outsourcing berasal dari kata out
yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian
di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu
suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan sebagai pengguna jasa dengan
perusahaan sebagai penyedia jasa. Outsourcing adalah suatu proses dimana
sumber-sumber daya dibeli dari orang lain melalui kontrak jangka panjang
sebagai ganti yang dulunya dibuat sendiri oleh perusahaan). Pengertian di atas
Iebih menekankan pada istilah yang berkaitan dengan proses "Alih
Daya" dari suatu proses bisnis melalui sebuah perj anj ian/kontrak.
Di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tidak menyebutkan secara
tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri tersirat
dalam ketentuan pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 ini, yang isinya menyatakan bahwa
: "Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis". Hal ini berarti bahwa di
dalam outsourcing terjadi penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain, sehingga terdapat dua perusahaan yaitu perusahaan yang menyerahkan
sebagian pekerjaan dengan perusahaan yang menerima openyerahan sebagaian pekerjaan.
Di satu sisi menyerahkan pekerjaan di sisi yang lain penyerahan pekerjaan
didasarkan atas perjanjian pemborongan. Outsourcing disamakan dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Mengenai perjanjian pemborongan, Pasal 1601 b KUH
Perdata, menentukan sebagai berikut: "Perjanjian pemborongan kerja ialah
suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan
harga yang telah ditentukan".
Outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan
pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat
suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran
tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk
memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk
perjanjian pemborongan bangunan
walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat
disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam
perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas
seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN /
1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang
bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah
dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan
atas kehadiran pekerja secara harian.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan
pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan
jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekeijanya pun menjadi
berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekeija akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah
disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedianjasa tenaga kerja.
Perjanjian outsourcing
dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.
Ketentuan outsourcing di dalam UU
No. 13 Tahun 2003 2003 diatur dalam Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 yang
menentukan bahwa :
(1)
Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis;
(2)
Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan dengan
perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan kegiatan
penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses
produksi secara langsung.
(3)
Perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)
Perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Perubahan dan/atau
penambahan syarat -syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)
Hubungan kerja dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya.
(7)
Hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)
Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/ buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
(9)
Dalam hal hubungan
kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Selanjutnya 66
UU No. 13 Tahun 2002 menentukan:
1.
Pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan
pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi.
2.
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
Adanya hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh;
b.
Perjanjian kerja
yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada
huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c.
Perlindungan upah
dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/ buruh;
d.
Perjanjian antara
perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.
3.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan
bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerj aan.
4.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan lain mengenai outsourcing diatur di dalam Kitab
UndangUndang Hukum Perdata buku ketiga bab 7A bagian keenam tentang
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu:
1.
Perjanjian
pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan di mana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
2.
Dalam perjanjian
pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pemborong dengan
perusahaan yang memborongkan sebab dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur
"upah" sebagai salah satu syarat adanya hubungan kerja. Jadi yang ada
harga borongan.
Di atas telah disinggung bahwa outsourcing ada kaitannya
dengan perjanjian pemborongan, maka hubungan hukum yang terjadi adalah:
1.
Hubungan antara
pemborong dengan yang memborongkan adalah hubungan perdata mumi sehingga jika
terjadi perselisihan maka penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan
Negeri.
2.
Perjanjian/perikatan
yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan yang memborongkan pekerjaan tunduk
pada KUH Perdata Pasal 1338 jo Pasal 1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
3.
Dalam hal
perjanjian kerja dilakukan secara tertulis maka perjanjian kerja itu harus
memenuhi syarat-syarat antara lain:
1.
Harus disebutkan
macam pekerjaan yang diperjanjikan;
2.
Waktu berlakunya
perjanjian kerja;
3.
Upah tenaga kerja
yang berupa uang, diberikan tiap bulan;
4.
Saat istirahat bagi
tenaga kerja. yang dilakukan di dalam dan kalau perlu diluar negeri serta
selama istirahat itu;
5.
Bagian upah lainya
yang diperjanjikan dalam isi perjanjian menjadi hak tenaga kerja
a.
Berdasarkan janczka
waktunya_ perjanjian kerja terdiri dari Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT). PKWT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.
PKWT diatur
Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Jo Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
KEP.100/MEN/VI/2004. Menurut Payaman Simanjuntak, PKWT adalah perjanjiankerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu yang
relatif pendek yang jangka.
Waktunya paling lama dua tahun dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja
pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga
tahun lamanya. PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu, jadi tidak dapat dilakukan secara bebas. PKWT harus dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dan tidak boleh dipersyaratkan adanya
masa percobaan (probation), PKWT juga tidak
dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifattetap. Apabila syarat-syarat PKWT
tidak terpenuhi maka secara hukum otomatis menjadi PKWTT. Sedangkan PKWTT merupakan
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap, jangka waktunya tidak ditentukan, baik
dalam perjanjian, undangundang maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat
dipersyaratkan adanya masa percobaan (maksimal tiga bulan).
b.
Berdasarkan
statusnya, perjanjian kerja terdiri dari perjanjian kerja Perseorangan (dengan
masa percobaan tiga bulan), perjanjian kerja harian lepas, perjanjian kerja
borongan, dan perjanjian kerja tetap;
c.
Berdasarkan
pelaksanaanya, perjanjian kerja terdiri dan pekerjaan yang di lakukan sendiri
oleh perusahaan dan pekerjaan yang di serahkan pada perusahaan lain (outsourcing).
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan
bahwa :
a.
pemborong hanya
untuk melakukan pekerjaan ;
b.
pemborong juga akan
menyediakan bahan-bahannya.
4.
Dalam hal pemborong
juga harus menyediakan bahan-bahannya dan hasil pekerjaanya kemudian karena
apapun musnah sebelum diserahkan maka kerugian tersebut dipikul oleh pemborong
kecuali yang memborongkan lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.
5.
Dalam hal pemborong
hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaan tersebut musnah maka
pemborong hanya bertanggungjawab atas kemusnahan tersebut sepanjang hal itu
terjadi karena kesalahan pemborong.
6.
Jika hasil
pekerjaan diluar kelalaian dari pihak pemborong, musnah sebelum penyerahan
dilakukan dan tanpa adanya kelalaian dari pihak yang memborongkan untuk
memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan tersebut maka pemborong tidak berhak
atas harga yang dijanjikan kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya
ada cacatnya.
7.
Jika pekerjaan yang
diborongkan dilakukan secara potongan atau ukuran, maka hasil pekerjaan dapat
diperiksa secara sebagian demi sebagian.
8.
Perjanjian
pemborongan pekerjaan berakhir karena meninggalnya pemborong.
9.
Jika pemborong
meninggal dunia maka yang memborongkan pekerjaan wajib membayar kepada ahli
waris pemborong hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan bangunan
yang telah diselesaikan menurut perbandingan dengan harga yang telah diperjanjikan asal hasil pekerjaan itu atau bahan
bangunan
tersebut ada manfaatnya bagi pihak yang memborongkan.
10.
Pemborong
bertanggungjawab atas tindakan pekerja yang diperkerjakan.
11.
Pekerja yang
memegang barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu
berhak menahan barang tersebut sampai biaya dan upah dibayar seluruhnya,
kecuali telah dikeluarkan tanggungan secukupnya.